Meski kerap jadi incaran para pembuat parfum, ambergris hari ini nyatanya tak lagi digunakan di perusahaan parfum ternama.
Tris Tjahjadin, ahli parfum yang belajar di Prancis, menjelaskan hal ini disebabkan peraturan ketat yang dikeluarkan Asosiasi Parfum Internasional atau IFRA (International Fragrance Association).
"Lambat laun badan yang mengatur bahan dasar parfum tambah lama tambah ketat jadi banyak bahan yang sekarang sudah tidak diperbolehkan", jelas Tris yang sebelum mempelajari parfum secara dalam, sempat mendalami biokimia di Amerika.
"Misalnya (parfum) Chanel no 5 yang kita beli tahun 80-an dengan Chanel no 5 yang sekarang itu sebenarnya baunya beda tapi untuk konsumen mungkin tidak bisa bedain kecuali orang yang fanatik dengan parfum. Karena ada bahan tertentu yang sudah dilarang atau sudah tidak boleh dipasarkan, atau sudah terlalu mahal juga" tambah Tris.
Pengakuan Wanita yang Menyesal Memiliki Seorang Anak: Sepi dan Gundah Ia Jalani Seorang Diri
Bahkan, saat Tris mendatangi ekspo bahan baku wewangian di Eropa maupun tanah air, ia mengaku belum pernah melihat ambergris diperdagangkan.
"Selama ini saya tidak pernah lihat ada orang yang bawa ambergris sih, jujur saja", katanya sambil terkekeh.
"Setahu saya kalau negara-negara yang badan POM-nya kuat, hukumnya kuat, itu pasti sudah tidak mungkin ada di pasaran," ujar Tris.
Meski Asosiasi Parfum Internasional melarang penggunaan parfum berbahan ambergris, kenyataannya di lapangan, para pemburu ambergris masih berkeliaran.
"Pembeli-pembeli (ambergris) seperti penjual parfum dengan pasar ceruk, atau mau coba jadi artisan yang berjualan di atas lima juta (rupiah), mungkin bisa. Mungkin pasarnya itu, kalau perusahaan besar saya rasa sudah tidak berani" tutup Tris.
Sementara itu dari hasil penelusuran, tercatat sebuah situs jual beli ambergris asal Selandia Baru, menjual ambergris seharga USD$29 (Rp400 ribu) per gram. Belum termasuk biaya pengiriman internasional sebesar $16 (Rp220 ribu) per pemesanan. (*)