Lalu kalo FOMO merupakan kependekan dari Fear of Missing Out. FOMO timbul karena gengsi atau kecenderungan ingin mengikuti tren. Dilansir dari techtimes.com, FOMO banyak dialami remaja karena media sosial.
Contohnya, lo lihat update dari medsos Hypebeast kalo chunky sneakers jadi tren 2020. Didukung temen-temen lo yang udah pake chunky sneakers ke beragam acara. Alhasil, lo ikutan beli karena takut ketinggalan.
Melihat teman update instagram stories dan tekanan sosial lain membuat kita sebagai remaja mengalami YOLO dan FOMO.
Makin parah kalo lo menganggap dua hal tersebut lumrah dan harus dilakukan! Jelas aja kalo keuangan jebol kalo mengikuti prinsip YOLO dan FOMO.
“YOLO dan FOMO itu normal lah, sebenarnya di orang tua kita juga dulu begitu. Remaja jadinya betul tergoda (dengan prinsip YOLO dan FOMO), tapi sebenarnya yang membuat saya lebih worry adalah tergoda dengan convenience, dengan kemudahan,” papar content creator sekaligus founder Mentorgue Learning App, Fellexandro Ruby.
To be honest, rasa YOLO dan FOMO pasti bakal muncul di hati remaja. Tapi dengan sedikit twist, dua hal ini bisa jadi hal yang menguntungkan.
Apa yang harus dilakukan?
FOMO dan YOLO yang nggak berlebihan sesungguhnya bisa kita ubah ke arah yang positif. Yang pertama kali harus dilakukan adalah, bisa mendahulukan dan membedakan kebutuhan dengan keinginan.
"Sejak berkuliah, saya sudah diberikan akses sepenuhnya untuk mengelola keuangan saya sendiri. Jadi, saya yang harus pintar-pintar membagi porsi keuangan tersebut sesuai kebutuhan."
"Tentu saya harus mendahulukan yang wajib (kebutuhan) dan secara disiplin menabung untuk hobi atau kesenangan pribadi (keinginan). Berlaku hemat bukan berarti pelit atau outdated," kata Shadika, seorang financial expert dari Allianz.
Setelah mendahulukan kebutuhan, apa yang bisa dilakukan selanjutnya?