Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Ketika kita meningkatkan upaya untuk menangkal penyebaran covid-19, kita perlu memperhatikan bahwa jangan sampai memperburuk ancaman lain terhadap kesehatan, yaitu kesepian.
'Epidemi kesepian' telah membuat angka dua kali lipat di Amerika Serikat selama 50 tahun terakhir.
Survei baru-baru ini terhadap lebih dari 20 ribu orang dewasa menemukan bahwa hampir setengah dari responden melaporkan merasa sendirian, ditinggalkan, dan terisolasi.
Selanjutnya, satu dari empat orang berbagi bahwa mereka jarang merasa dipahami, dan satu dari lima orang percaya bahwa mereka jarang atau tidak pernah merasa dekat dengan orang.
Kesepian juga bisa membuat mengurangi imunitas, lebih rentan terkena flu, mengembangkan penyakit jantung, dan mengalami depresi.
Bahkan, sebuah laporan baru-baru ini dari Administrasi Sumber Daya & Layanan Kesehatan menyatakan bahwa isolasi sosial dapat sama merusaknya dengan merokok 15 batang sehari.
Hal ini mungkin bertentangan dengan apa yang kamu pikirkan saat pandemi corona, bukan hanya orangtua yang merasa terisolasi.
Generasi yang lebih muda dan lebih terhubung secara teknologi juga menderita.
Survei menemukan bahwa 79 persen generasi Z, 71 persen generasi millennium, dan 50 persen baby boomer telah merasa kesepian.
Otak kita telah berevolusi menjadi sosial secara konstan dan menilai apa yang orang lain pikirkan atau rasakan, bagaimana mereka merespons kita, jika kita merasa aman dengan mereka, dan jika mereka merasa aman bersama kita.
Karena kebutuhan mendasar akan komunikasi sosial itu, otak kita bereaksi negatif ketika kita merasa terisolasi atau dikucilkan.
Ahli saraf di UCLA menemukan bahwa ketika orang merasa dikecualikan, ada aktivitas yang sesuai di bagian punggung korteks cingulate anterior, yaitu wilayah saraf yang terlibat dalam komponen nyeri yang berpotensi akan sakit.
Dengan kata lain, perasaan dikucilkan, ditinggalkan, dan diabaikan akan memicu reaksi yang sama di otak yang mungkin ditimbulkan oleh rasa sakit fisik.
Itulah alasan megapa kini istilah social distancing telah diganti dengan physical distancing.
Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Tempat Tepat Tidur Menjadi Lokasi Terburuk untuk Work From Home!
Dilansir Grid.ID dari Forbes, berikut adalah tiga tips untuk mengurangi akibat isolasi diri dan meningkatkan koneksi saat pandemi corona.
1. Jalin komunikasi sebanyak mungkin
Salah satu studi yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Science, menemukan bahwa pembicara dibandingkan dengan pengirim e-mail hampir 40% lebih baik dalam mengkomunikasikan antusiasme, skeptisisme, empati, simpati, ironi, keraguan, kepercayaan, dorongan, kehati-hatian, dan humor.
Ketika tujuan kamu adalah membuat orang merasa termasuk dan terhubung, ada baiknya menambahkan elemen tersebut yang lebih kaya seperti media telepon atau penawaran panggilan video agar bisa saling bertatap muka.
2. Perhatikan bahasa tubuh
Salah satu teknik mudah yang harus dilakukan sebelum konferensi jarak jauh adalah menyatukan bibir dan berkata, "Um hum, um hum, um hum."
Dengan begitu, rilekskan suara kamu ke nada yang lebih hangat dan rendah.
Komunikasi dengan panggilan video cenderung lebih dipengaruhi oleh isyarat heuristic, seperti seberapa disukainya mereka memandang pembicara daripada kualitas argumen yang disampaikan oleh pembicara.
Jadi, lebih baik ketika kamu menjadi presenter di konferensi video, kamu perlu menekankan sinyal nonverbal tentang kesukaan dan kehangatan, seperti sedikit condong ke depan, tersenyum, menunjukkan telapak tangan, dan sebagainya.
3. Jangan jadikan teknologi pengganti permanen
Strategi komunikasi apa pun memang membutuhkan keterampilan.
E-mail yang dibuat dengan baik bisa lebih efektif daripada pertemuan tatap muka yang tidak ditangani dengan baik.
Tetapi untuk tingkat keterlibatan dan koneksi tertinggi, untuk membangun, dan memperdalam hubungan, tatap muka tidak dapat disangkal merupakan media komunikasi terkaya dan paling efektif.
Interaksi manusia tatap muka tetap menjadi yang paling kuat.
Teknologi mungkin membuat kita lebih dekat, tetapi belum ada yang dapat sepenuhnya menggantikan keintiman dan kedekatan manusia secara tatap muka.
(*)