Laporan Wartawan Grid.ID, Nesiana Yuko Argina
Grid.ID - Beragam upaya dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus corona atau Covid-19, mulai dari kebijakan lockdown hingga imbauan social distancing alias jaga jarak.
Beberapa negara bahkan menerapkannya secara ketat, mengingat tingkat persebaran mereka cukup tinggi, salah satunya Italia dan Amerika Serikat.
Bedanya, Italia sudah menerapkan lockdown sementara Amerika Serikat tidak.
Namun baru-baru ini, sebuah studi yang dilakukan ilmuwan Harvard mengungkap bahwa lockdown saja tidak cukup untuk menghentikan penyebaran.
Dilansir Grid.ID dari laman AFP.com pada Kamis (16/4/2020), ilmuwan Harvard juga menyampaikan jika social distancing sebaiknya dilakukan hingga 2022 mendatang.
Hal itu demi mencegah rumah sakit kewalahan akibat munculnya gelombang lain virus corona baru yang pastinya mengancam jiwa manusia.
Studi ini muncul ketika Amerika Serikat secara mengejutkan alami puncak kasus Covid-19.
Kesimpulan itu didapat berdasarkan pada perhitungan simulasi komputer yang laporannya terbit di jurnal Science, Selasa (14/4/2020).
Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa Covid-19 akan menjadi penyakit musiman seperti flu biasa, tetapi dengan tingkat penularan yang lebih tinggi dan berlangsung selama berbulan-bulan.
Kendati demikian, peneliti mengaku masih ada banyak hal yang belum bisa dipastikan.
Termasuk tingkat kekebalan yang didapat dari infeksi Covid-19 sebelumnya dan berapa lama berlangsung.
"Kami menemukan bahwa melakukan social distancing hanya satu kali kemungkinan tidak cukup untuk menghentikan penyebaran virus corona baru SARS-CoV-2," kata Stephen Kissler, penulis utama dalam jurnal penelitian tersebut.
Baca Juga: Terhalang Social Distancing, 3 Zodiak Ini Punya Cara Seru untuk Tetap Berkencan dengan Pasangannya
"Yang tampaknya diperlukan adalah menerapkan periode social distancing dengan sistem intermiten atau selang-seling," imbuhnya.
Durasi dan intensitas social distancing bisa saja dilonggarkan saat vaksin sudah tersedia.
Namun selama hal itu belum bisa dipastikan, menjaga jarak dengan orang lain akan membantu rumah sakit meningkatkan kapasitas perawatan klinis, utamanya saat terjadi lonjakan kasus.
Selain itu, kebiasaan jaga jarak yang dilakukan selama dua tahun diharapkan dapat menghentikan munculnya gelombang kedua Covid-19.
Penulis juga mengakui adanya kelemahan dalam model simulasi mereka, yakni masih sangat sedikit hal yang diketahui tentang seberapa kuat kekebalan seseorang sebelum terinfeksi Covid-19 dan berapa lama hal tersebut bertahan.
Para ahli hanya mampu berspekulasi, orang yang terinfeksi Covid-19 memiliki kekebalan lebih rendah dibanding yang lain sekitar satu tahun.
Tes antibodi yang saat ini mulai dipasarkan ke berbagai negara akan membantu mengetahui apakah seseorang sebelumnya sudah terinfeksi Covid-19 atau belum.
Tes ini juga penting untuk menjawab pertanyaan terkait kekebalan tubuh dan vaksin yang akan menjadi senjata pamungkas.
(*)