Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Tercatat 213 negara terjangkit Covid-19, termasuk di Indonesia dengan jumlah pasien positif per 16 April 2020 berjmlah 5.516 jiwa.
Dengan pasien sembuh 548 dan meninggal dunia 496.
Orang dengan imunitas tubuh yang baik, tentu beda dengan mereka yang asal makan agar organ tubuhnya masih bisa bekerja.
Di tengah pandemi virus corona, diam-diam terjadi pandemi dadakan orang berbagi sembako.
Baca Juga: Viral! Ini Kisah Pasien Corona yang Melahirkan saat Koma, Ternyata Sang Bayi Diberi Nama Unik
Tentu semua ada yang memulainya, lalu diikuti sebagai bentuk gotong royong.
Bukan hal yang buruk dan bukan hal yang salah.
Pertama, pesan #dirumahaja menjadi sedikit membingungkan.
Sebab, pembagian sembako di jalan-jalan raya membuat orang berpikir lebih mudah meraih rezeki yang lewat daripada diam di rumah menunggu kebijaksanaan pak RT dan pembagian yang adil.
Kedua, donasi sporadis menyisakan pertanyaan, “dimana koordinasi?” Apa sulitnya bila semua donasi itu dipusatkan ke kementerian sosial, dinas sosial propinsi atau kabupaten, yang punya perangkat daerah, melalui gubernur, bupati, hingga camat dan lurah sampai kepala desa bisa dijadikan ranting kerja yang efisien dan tangguh.
Ketiga, banyak yang tidak menyadari bahwa kondisi pandemi virus corona tidak sama seperti bencana banjir, yang hitungan hari dan minggu bisa diselesaikan sambil bebersih.
Efek domino penularan virus corona mengharuskan semua orang berhenti.
Berhenti keluar rumah, berhenti menjalankan hidup ‘seperti biasanya’, berhenti yang apabila tidak dipahami jalan keluarnya maka berarti berhenti hidup sama sekali.
Tidak semudah itu orang dianjurkan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah.
Sebab, tidak semua orang bekerja sebagai pegawai kantoran yang terhubung dengan internet.
Baca Juga: Alami Sendiri Penderitaan Idap Virus Corona, Ayah Rihanna: Aku Akan Mati!
Tidak semua anak punya gawai untuk mengunduh tugas, apalagi jika orangtuanya hanya bisa berteriak-teriak menyuruh mereka belajar tanpa harus paham apa yang dipelajari.
Petinggi kita hidup di alam khayal, seakan-akan kualitas pendidikan kita seperti di Korea Selatan.
Belum lagi anjuran isolasi mandiri.
Coba berkaca, berapa banyak keluarga yang jamban saja belum punya, bukan?
Mirip seperti penderita TBC yang tidak paham obatnya buat apa selama 6 bulan, apabila batuknya mereda maka ia akan menjual obat-obat gratisnya di pasar gelap demi beberapa lembar Rupiah untuk beli rokok.
Ketimbang para kepala daerah bekerja sendiri, mengatasnamakan diri sendiri, betapa mulianya bila mereka menggerakkan semua dinas terkait.
Mendirikan posko dapur umum yang mengantarkan makanan-makanan bergizi setiap hari, termasuk pembuatan makanan pendamping ASI sesuai data penduduk yang bisa diperoleh dari RT dan RW, sehingga tidak mubazir.
Baca Juga: Parno Terhadap Virus Corona, Inul Daratista Sampai Tak Izinkan ART Keluar Rumah
Mumpung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memperbolehkan kendaraan logistik keluar masuk, maka pemerintah wajib melanggengkan rantai makanan berkesinambungan mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan, hingga peternakan sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Mereka yang bertani, beternak serta mencari ikan tidak boleh terdampak menjadi pengangguran, apalagi jalur pemasarannya terhenti.
Fokus penanggulangan ekonomi tidak boleh semata-mata berorientasi pada masyarakat perkotaan.
Mungkin, justru ini momen yang pas bagi pemerintah untuk mengambil alih kekuasaan kartel dan mendistribusikan kebutuhan pangan sehat, secara adil dan merata.
Begitu pula orang-orang dengan penyakit tidak menular tapi rentan asupan pangan, misalnya penyandang diabetes, hipertensi, kanker, dan sindroma metabolic.
Bisa jadi hanya hitungan hari saja mereka bisa tumbang.
Padahal, rumah sakit dipenuhi risiko tertular virus corona.
Anjuran “yang mampu membantu yang lumpuh” menjadi amat riskan di masa ini.
Sebab, istilah mampu pun tidak bisa dianggap seperti donasi berwujud sinterklas, mengingat sinterklas hanya tampil setahun sekali.
Tindakan-tindakan karitatif tidak bisa dijadikan tulang punggung pengentasan kemiskinan serempak seperti saat ini.
Siapa yang bisa disebut golongan mampu? Yang punya pabrik? Yang punya kantor? Yang punya mobil?
Bukankah mereka juga orang-orang yang masih terlibat hutang miliaran, bahkan masih dipaksa mempekerjakan karyawan yang katanya bekerja dari rumah, mengenakan daster sambil menyuapi anak di depan laptop? Seperti yang saya singgung sebelumnya, kesehatan jiwa pun dipertaruhkan.
Saat sembako dibagi dan sinterklas mondar mandir menurunkan logistik, beberapa pelaku industri tanpa kita sadari menikmati iklan tanpa harus bayar, yang biasanya merek-merek itu ditutup dan dibuat kabur saat tayang di televisi.
Apabila di negara maju ‘gelombang kedua’ Covid-19 adalah kembalinya serangan virus berwajah mutasi, maka di negeri ini gelombang susulan adalah dampak miskinnya tabungan.
Dari tabungan kesehatan hingga tabungan keuangan.
Yang apabila antisipasinya salah, perencanaannya tak terarah, belum lagi koordinasinya lemah, maka semua rakyat akan ketiban susah.
(*)