Find Us On Social Media :

Waspada! Ternyata Tingkat Kematian Tinggi Akibat Corona Kemungkinan Dipicu oleh Badai Sitokin, Kenali Penyebab dan Pencegahannya

By Devi Agustiana, Selasa, 21 April 2020 | 15:35 WIB

Petugas medis membawa seorang pasien yang diduga terinfeksi virus misterius mirip SARS, ke rumah sakit Jinyintan, di Kota Wuhan, China, Sabtu (18/1/2020).

Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana

Grid.ID – Jumlah pasien yang meninggal akibat infeksi virus corona di dunia terus bertambah.

Per 21 April 2020 pandemi global ini sudah menyerang 213 negara/kawasan, 2.319.066 kasus terkonfirmasi, dan 157.970 kematian.

Termasuk Indonesia, per 21 April 2020 sudah 6.760 orang positif.

Baca Juga: Bukan Ingin Bersama Cita Citata, Ini Alasan Kekasih Pedangdut Itu Jadi Mualaf dan Peluk Islam Hingga Buatnya Menangis

Wabah yang pertama kali muncul di Wuhan, China, ini telah membuat ribuan orang di negara tersebut meninggal akibat virus corona, SARS-CoV-2.

Menurut para ahli kesehatan dunia, tingginya angka kematian di sejumlah negara episentrum virus corona kemungkinan karena subkelompok pasien dengan Covid-19 yang parah memiliki sindrom badai sitokin atau cytokine storm syndrome.

Sejumlah studi penting yang dilakukan di China menyebutkan, pasien yang meninggal karena Covid-19 bisa jadi disebabkan oleh sistem kekebalan mereka sendiri.

Baca Juga: Tiba-tiba Singgung Pelakor hingga Posting Foto Perut Buncit, Tasya Farasya Berhasil Bikin Netizen Bertanya-tanya, Ada Apa?

Kematian akibat Covid-19 bukan dari virus itu sendiri, melainkan akibat dari sindrom badai sitokin.

Dr. Reisa Brotoasmoro yang dikenal sebagai influencer sekaligus dokter, memastikan bahwa virus tersebut belum ada obatnya, tidak seperti bakteri yang sudah ada obatnya untuk antibiotik.

Virus hanya bisa dikalahkan oleh daya tahan tubuh kita sendiri.

Tapi dalam beberapa kasus ada orang yang imun tubuhnya dalam satu titik menyerang tubuh sendiri dari Covid-19 yang dikenal dengan istilah cytokine syndrome.

"Jadi masih belum pasti cara penanganan untuk mengalahkan Covid-19. Para dokter dan ilmuwan saat ini tetap menganjurkan pencegahan dengan cara hidup bersih. Kalau saya sendiri sudah sejak belia sudah diajarkan cara hidup bersih oleh kedua orang tua yang kebetulan adalah dokter," jelasnya.

Baca Juga: Bukan Ingin Bersama Cita Citata, Ini Alasan Kekasih Pedangdut Itu Jadi Mualaf dan Peluk Islam Hingga Buatnya Menangis

Selama badai sitokin, respons imun tubuh yang berlebihan dapat merusak jaringan organ paru yang sehat.

Ini menyebabkan gangguan pernapasan akut dan kegagalan multi-organ.

Apabila tidak segera diobati, sindrom badai sitokin ini dapat berakibat fatal pada pasien Covid-19.

Pasien dalam penelitian lain setelah terinfeksi virus corona kemudian mengembangkan sindrom badai sitokin di tubuhnya, ternyata ironisnya memiliki cacat kekebalan genetik.

Baca Juga: Sudah Jadi Produser Musik, Maia Estianty Digaet Dul Jaelani untuk Isi Backing Vocal Lagu Barunya : Gratisan!

Hal itu mengakibatkan respons kekebalan tubuh yang tidak terkendali.

Selama dua dekade terakhir, banyak yang telah dipelajari tentang diagnosis dan pengobatan sindrom badai sitokin.

Bagi para profesional medis, penting sekali untuk mengetahui sindrom ini pada pasien positif virus corona agar siap mengidentifikasi dan mengobatinya.

Sebab, kesiapan dalam mengidentifikasi sindrom badai sitokin ini dapat membantu mengurangi jumlah kematian secara signifikan dari Covid-19.

Baca Juga: Keluarga Pasien Terus Menyangkal dan Enggan Beri Keterangan Lengkap, 21 Tenaga Medis di RS Ciremai Cirebon Terpaksa Diisolasi!

Faktor penyebab sindrom badai sitokin

Dalam mengobati badai sitokin yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti infeksi virus atau penyakit autoimun lainnya, tingkat kematian pasien yang menderita sindrom ini berkurang hingga 27 persen.

Dalam kasus Covid-19 dengan gejala yang ringan, dapat saja berubah menjadi infeksi yang lebih parah, jika pasien diketahui memiliki sindrom badai sitokin ini.

Sindrom badai sitokin ini memiliki banyak nama, tetapi mereka berbagi patologi dari respons imun tubuh yang terlalu aktif dan mengarah pada sindrom disfungsi multi-organ yang fatal (MODS).

Baca Juga: Merasa Ditipu Raffi Ahmad Soal Hubungannya dengan Mikha Tambayong, Ibunda Nagita Slavina Semprot sang Mantu: Waktu Itu Ditanya Bilangnya Enggak!

Faktor risiko mengapa seseorang yang sebelumnya sehat menjadi sakit parah belum diketahui.

Namun, ada beberapa faktor utama yang menyebabkannya, salah satu yang utama adalah mutasi genetik.

Faktor ini dapat menempatkan seseorang pada risiko lebih tinggi.

Sementara itu, di tengah pandemi virus corona ini, para tenaga medis perlu merawat pasien-pasien Covid-19 hanya berdasarkan keparahan penyakit mereka.

Virus corona bukanlah virus jenis baru, melainkan virus lama yang sudah ada sejak dahulu.

Baca Juga: Kesuksesan di Depan Mata, 6 Zodiak ini Punya Bakat Bisnis yang Luar Biasa

Namun, terus bermutasi menjadi lebih ganas, lebih menakutkan.

Sampai saat ini pun para peneliti dunia masih berpikir dan bekerja keras terus mencari solusi pemutusan mata rantai penularan virus ini.

Apalagi para peneliti dunia juga belum menemukan tata laksana atau petunjuk pelaksanaan penanganan Covid-19 secara efektif karena gejalanya selalu berubah-ubah, dari satu orang ke orang lainnya dan tergantung sistem imun dalam tubuh.

“Untuk itu, yang bisa dilakukan saat ini hanyalah upaya pencegahan, yakni dengan cara hidup bersih, tinggal di rumah, selalu menjaga kesehatan, dan kebugaran diri. Kemudian, menjaga jarak 1,5 meter sampai 3 meter dengan orang lain apabila perlu keluar rumah, selalu menggunakan masker jika keluar rumah serta pastikan sanitasi di rumah baik," kata dr Sonia Wibisono, Senin (20/4/2020).

Baca Juga: Merasa Ditipu Raffi Ahmad Soal Hubungannya dengan Mikha Tambayong, Ibunda Nagita Slavina Semprot sang Mantu: Waktu Itu Ditanya Bilangnya Enggak!

Dr. Sonia Wibisono menyarankan untuk mengantisipasi penularan Covid-19 dengan menggunakan hand sanitizer atau mencuci tangan dengan sabun.

Bersihkan selalu ruangan dengan spray yang bisa membasmi lapisan luar Coronavirus.

Dr. Sonia menambahkan, “Covid-19 bisa bertahan ataupun mengendap selama 2 sampai 8 hari di permukaan perabotan.”

“Covid-19 bisa bertahan ataupun mengendap selama 2 sampai 8 hari di permukaan perabotan. Makanya rajin-rajin membersihkan ruangan dengan disinfektan," ujar dr. Sonia.

(*)