Dalam keterangan tertulis, Susanto pun menambahkan untuk tidak memviralkan berita ini.
“Karena viralisasi pemberitaan, akan berpotensi mendekatkan anak dengan informasi perkawinan ini dan rentan mempengaruhi cara berfikir dan perilaku anak.”
“Menurut teori Kultivasi, media massa baik cetak maupun elektronik melalui informasi yang disebarkannya pada dasarnya menanamkan nilai-nilai dalam benak khalayak, baik disadari atau di luar kesadarannya,” jelas Susanto, Rabu (20/5/2020).
Baca Juga: Dituduh Melakukan Kekerasan Pada Anak Tiri, Lee Sachi Angkat Bicara
Undang-undang No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjadi norma baru dalam perkawinan khususnya usia menikah bagi perempuan.
Maka, agar UU tersebut efektif memerlukan berbagai pendekatan, baik pendekatan pendidikan, budaya, kesehatan, agama dan ekonomi perilaku masyarakat patuh pada norma dimaksud yaitu usia menikah bagi laki-laki 19 tahun dan perempuan 19 tahun.
Adapun Undang-undang No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baca Juga: Panduan Bayar Zakat di Tengah Pandemi Corona, Masihkan Harus Berjabat Tangan?
Pasal 7
- Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas tahun)
- Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
- Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
- Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orangtua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Susanto berharap, Pemerintah daerah perlu mengembangkan model-model program pencegahan perkawinan anak berbasis desa dan kelurahan agar jumlah perkawinan anak bisa ditekan.
Pencegahan perkawinan anak berbasis komunitas perlu dikembangkan agar anak teredukasi akan pentingnya kematangan dalam melangsungkan perkawinan.
Disamping itu, tokoh agama juga turut berperan untuk mencegah hal ini.
“Tokoh agama, budaya dan adat penting terlibat aktif untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya pencegahan perkawinan anak.”
“Pemberdayaan ekonomi bagi keluarga rentan perlu dipastikan agar keturunannya tidak rentan menikah dini,” jelas Susanto.
(*)