"Saya bukan dari keluarga mampu. Ayah saya sopir angkot," ujar Hengky, seperti dikutip dari Kompas.com.
Rumah masa kecilnya jauh dari kesan mewah, hanya sebuah rumah sederhana warisan sang nenek, dengan 2 kamar yang mesti muat ditempati 7 orang, kedua orang tua Hengky, 4 orang kakaknya, dan Hengky sendiri.
Karena keterbatasan ekonomi pula, keluarga ini jarang membeli barang, termasuk baju, sehingga pakaian yang dipakai Hengky saat kecil merupakan baju turunan dari kakak-kakaknya.
"Apalagi mainan. Sampai nangis-nangis pun tidak akan dibelikan karena nggak ada uang," kenangnya.
Di usia SD, Hengky pun ikut membantu orang tuanya dengan berjualan aneka jajanan dan minuman yang ia bawa ke sekolah.
Lantas masuk usia remaja, tepatnya saat SMP, Hengky nekat mencoba pekerjaan lain.
Ia memberanikan diri memulung barang-barang bekas acara di sebuah gedung serbaguna di depan rumahnya.
Biasanya, sampah-sampah seperti kardus, gelas air mineral, dan lainnya dibiarkan begitu saja.
Itulah yang dikumpulkan Hengky dan teman-teman di kampungnya untuk dijual.
Mengikuti ajaran ayahnya untuk disiplin, Hengky menabung uang hasil penjualan kardus sejak SMP hingga lulus SMA ia bisa menggunakan tabungannya untuk hijrah ke Jakarta.
Hengky begitu ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, dan ia menyadari keinginan terpendamnya untuk menjadi artis.