Murdijati menceritakan, pada masa penjajahan saja bubur baru dimakan saat gagal panen.
Atau jika tidak mampu membeli beras dalam jumlah yang cukup, mundurnya masa panen, dan saat krisis lainnya yang berhubungan dengan beras.
Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan, orang dulu mencampurnya dengan banyak air.
Berbeda dengan kuliner tradisional Jawa pada umumnya, bubur tidak ada kaitannya dengan kerajaan yang dahulu berkembang pesat di tanah Jawa.
Karena bubur lahir dari kalangan bawah yang berjuang memenuhi pangannya.
"Apalagi etnis Tionghoa, dalam budayanya bubur dianggap sebagai simbol kemiskinan. Sedangkan orang Jawa dimaknai sebagai simbol pemerataan, jadi melalui bubur yang makan bisa lebih merata, bisa banyak orang juga," terang Murdijati.
Sementara itu, dikutip Bobo.id, dalam catatan sejarah terawal dari bubur ini sudah ada sejak sebelum masehi.
Konon, bubur sudah ada sejak zaman Kaisar Kuning berkuasa.
Kaisar Kuning ini adalah Kaisar Xuanyuan Huangdi.