Laporan Wartawan Grid.ID, Devi Agustiana
Grid.ID – Bubur ayam adalah salah satu menu sarapan yang banyak digemari masyarakat Indonesia.
Bahkan tidak hanya untuk konsumsi pagi hari, bubur juga kerap disajikan untuk menu makan malam.
Nah, ada kisah tersendiri jauh sebelum tersajinya semangkuk bubur yang lezat dari berbagai daerah di Indonesia.
Dilansir Grid.ID dari Kompas.com, salah satu kisah tersaji di tanah Jawa sejak zaman penjajahan.
Murdijati Gardjito, salah satu Guru Besar dan peneliti pangan dari Universitas Gadjah Mada mengutarakan sejarah di balik penggunaan awal bubur di Indonesia.
Kisah di balik semangkuk bubur tersebut tak ubahnya sebuah trik memperjuangkan hidup pada masa kritis di Indonesia, khususnya Jawa.
"Ratusan jenis bubur di Indonesia, tapi sangat jarang asalnya yang dicampur dengan lauk hewani. Karna kasta bubur itu dibawah nasi," ujar Murdijati.
Murdijati menceritakan, pada masa penjajahan saja bubur baru dimakan saat gagal panen.
Atau jika tidak mampu membeli beras dalam jumlah yang cukup, mundurnya masa panen, dan saat krisis lainnya yang berhubungan dengan beras.
Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan, orang dulu mencampurnya dengan banyak air.
Berbeda dengan kuliner tradisional Jawa pada umumnya, bubur tidak ada kaitannya dengan kerajaan yang dahulu berkembang pesat di tanah Jawa.
Karena bubur lahir dari kalangan bawah yang berjuang memenuhi pangannya.
"Apalagi etnis Tionghoa, dalam budayanya bubur dianggap sebagai simbol kemiskinan. Sedangkan orang Jawa dimaknai sebagai simbol pemerataan, jadi melalui bubur yang makan bisa lebih merata, bisa banyak orang juga," terang Murdijati.
Sementara itu, dikutip Bobo.id, dalam catatan sejarah terawal dari bubur ini sudah ada sejak sebelum masehi.
Konon, bubur sudah ada sejak zaman Kaisar Kuning berkuasa.
Kaisar Kuning ini adalah Kaisar Xuanyuan Huangdi.
Dikisahkan, pada tahun 238 sebelum masehi, terjadi musim paceklik atau kekurangan bahan makanan.
Paceklik ini disebabkan oleh kemarau yang berkepanjangan.
Sang Kaisar pun memikirkan cara untuk mengolah makanan menjadi banyak.
Nah, saat Kaisar makan, beliau menuangkan sup panas ke atas nasi.
Ini membuat nasi mengembang seperti bubur.
Kaisar pun meminta juru masak untuk memasak beras sampai menjadi bubur.
Sehingga ada lebih banyak makanan untuk rakyatnya.
Lebih lanjut, ada juga kisah dokter Chun Yuyi yang merawat penyakit kaisar Qi dengan menyajikan bubur.
Kemudian, bubur mulai disajikan sebagai menu sarapan orang yang sedag sakit.
Bubur dianggap menjadi makanan sehat sejak tahun 219 dalam buku pengobatan tradisional Tiongkok.
Selain itu, karena tekstur bubur yang lembut, makanan ini mulai sering dijadikan makanan pedamping susu untuk bayi yang sudah boleh makan nasi.
Seiring berajalannya waktu, bubur mulai disajikan menjadi menu sarapan di rumah-rumah di Tiongkok.
Begitupun juga negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
Bubur ayam memiliki kalori yang rendah, yaitu sekitar 138 dalam satu porsi.
Namun, bubur yang diberi tambahan seperti ayam, telur, kacang-kacangan dan yang lainnya mengandung 290 kalori.
Ini lebih rendah kalau dibandingkan dengan nasi putih tanpa lauk yang mengandung 242 kalori.
(*)