"Kurang lebih saya mengalami kerugian lebih dari Rp 1 miliar," ujarnya.
Sebelumnya, Ferdian mengaku bahwa kasus ini bermula pada tahun 2017 lalu.
Saat itu, korban mengaku telah membeli tanah pertambangan senilai Rp 433 Juta dengan kesepakatan membayar bertahap.
Namun, setelah ada kesepakatan dengan pemilik lahan dan penjaminan kelancaran administrasi dari perangkat desa, Ferdian justru dipersulit.
"Tapi, ketika saya mulai aktivitas dengan mendatangkan alat berat, prosesnya dihalangi dan terkesan dipersulit. Saat itu, mereka (terlapor) berkelit dengan berbagai alasan," jelasnya.
Tak hanya itu, Hariono dan anggota BPD malah diminta membayar uang kompensasi dan retribusi desa, karena lahan tersebut melintas di atas tanah kas desa.
"Akhirnya ada kesepakatan dengan pembayaran uang kompensasi sekitar Rp 389 juta. Saya membayar secara bertahap hingga mencapai Rp 389 juta," ungkap dia.
Setelah itu, Ferdian kembali melaporkan bahwa ia dibebani biaya operasional mencapai Rp 250 juta.
"Namun, kenyataannya sampai saat ini saya belum bisa memulai usaha pertambangan di situ. Saya sudah ditipu, karena uang kompensasi itu juga tidak masuk dalam LKPJ desa," urai dia.
Mirisnya lagi, Ferdian kini harus menanggung kerugian hingga Rp 6 miliar lantaran tak bisa memenuhi order, sebab usahanya yang dipersulit.