Grid.ID - Normalisasi bersejarah hari Kamis dari hubungan antara Uni Emirat Arab dan Israel menandai era baru dalam hubungan Arab-Israel.
Itu akan memperkuat tren jangka panjang menuju kerja sama yang lebih erat dan mengesampingkan masalah Palestina demi kemajuan ekonomi dan penahanan Iran.
Kesepakatan itu, yang difasilitasi oleh pemerintahan Presiden Donald Trump, telah lama terjadi, dan bisa menjadi kartu domino pertama yang jatuh di negara-negara Teluk yang menormalkan hubungan dengan musuh bersejarah Israel.
Generasi pemimpin baru di Teluk dapat membantu mendefinisikan kembali peran Israel di kawasan itu, meskipun dengan mengorbankan harapan yang masih ada akan status kenegaraan Palestina.
UEA dan penguasa de facto, Putra Mahkota Mohammed bin Zayed, adalah yang pertama yang mengambil lompatan Israel.
Meskipun negara-negara seperti Bahrain dan Oman dapat segera mengikutinya.
Hadiah tertinggi bagi Israel dan Amerika adalah Arab Saudi — salah satu dari dua negara adidaya di Timur Tengah, pusat Islam dengan kekayaan besar, cadangan minyak, dan militer yang lengkap.
Tetapi karakteristik unik Arab Saudi juga berarti harus bergerak lebih lambat daripada tetangganya di Emirat, bahkan jika Putra Mahkota Mohammad bin Salman ingin mengesampingkan masalah Palestina dan memperkuat poros regional anti-Iran yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan Trump.