Perilaku kedua pelaku menurut akhirnya kebablasan. Sehingga perampokan atau pemerasan berencana, berubah menjadi pembunuhan berencana.
"Aksi mutilasi mereka pun bukan didorong oleh emosi seperti banyak kasus mutilasi lainnya, tapi dilatari motif instrumental," papar Reza.
Jadi kata dia, mutilasi tidak ada sangkut pautnya dengan suasana hati, pula, yaitu untuk menghalangi kerja kepolisian.
"Tubuh korban dicacah-cacah dengan maksud agar barang bukti lebih mudah dihilangkan, pelarian diri dari TKP lebih cepat, dan korban tidak dapat diidentifikasi," kata dia.
Modus yang rapi, katanya yaitu dengan menjebak korban secara seksual, boleh jadi mengindikasikan bahwa secara berkelompok para pelaku pernah melakukan modus serupa sebelumnya.
"Karenanya, betapa pun kebablasan, penggunaan modus yang sama atas diri korban terakhir, merupakan bukti kefasihan sekaligus puncak karir kriminal para pelaku. Yakni kriminal generalis, bukan spesialis pembunuhan," kata Reza.
Menurut Reza, dengan asumsi adanya riwayat kejahatan dan kefasihan sebagai hasil belajar, ditambah dengan hasil studi bahwa faktor finansial merupakan prediktor yang kuat bagi residivisme pelaku pembunuhan, maka semoga Polda Metro Jaya dan Kejaksaan memaksimalkan ancaman pidana bagi dua sejoli maut itu.
"Yakni pidana mati," katanya.