Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik sebagai dukun yang mengobati orang sakit.
Namun, belakangan beredar kabar kalau Mbah Suro juga dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito Gunung Kendheng.
Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilannya.
Salah satunya adalah memelihara kumis tebal, dan rambut panjang.
Mbah Suro melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik, dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.
Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya.
Banyak pengikutnya yang percaya, diri mereka telah menjadi kebal terhadap senjata tajam, dan senjata api.
Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mbah Suro telah ditunggangi oleh PKI.
Oleh karena itu, Panglima Kodam VII/Diponegoro memerintahkan untuk menutup padepokan tersebut.
Menurut Hendro, penutupan itu terpaksa dilakukan melalui jalan kekerasan.