Contohnya, kata Elma, antar sesama murid yang berada di padepokan tersebut mengalami interaksi yang terbatas.
"Misalkan kami ramai-ramai. Tapi kami enggak bisa saling ngobrol, saling curhat enggak bisa. Kami hanya ramai-ramai tapi enggak bisa ngapa-ngapain," kata dia.
"Kayak dibikin enggak mau tahu urusan orang atau masing-masing. Fokus kami hanya di Aa Gatot. Kami enggak saling bersinggungan," sambung dia.
Baca Juga: Gatot Brajamusti Punya Beberapa Jenis Riwayat Penyakit, Inilah Penyebab Meninggalnya Aa Gatot
Selain itu, Elma mendengar begitu banyak anak-anak di padepokan yang menyebut Gatot sebagai 'Papa'.
"Anak angkat yang saya lihat banyak. Dan memang mereka panggilnya Papa, karena yang saya tahu mereka ada yang enggak ada bapaknya, ibunya, atau mereka ibunya ke mana, atau anak itu lagi mau berkarier. Atau ketemu di mana. Tiba-tiba ada mereka," ucapnya.
Meski begitu, Elma mengakui ada semacam trik yang membuat para murid di padepokan tersebut menjadi betah.
Ia membenarkan ada sarana dan prasarana hiburan di padepokan tersebut.
"Memang perbedaan di sana ngebuat kami enggak jenuh. Di sana ada billiard, karaoke, band, ada semuanya yang bikin kami enggak boring," ucapnya.
Sementara itu, dilansir Grid.ID dari Pos Kupang.com, Sabtu (3/9/2016), Reza Artamevia tetap menganggap Gatot Brajamusti sebagai gurunya usai kasus narkoba yang juga menyeret namanya itu.
"Beliau tetap guru saya, sampai kapan pun," kata Reza Artamevia saat ditemui di Hotel Lombok Garden, Kota Mataram, Jumat (2/9/2016).
Gatot Brajamusti meninggal dunia di RS Pengayoman, Cipinang, Jakarta Timur.
Ia dilarikan ke rumah sakit lantaran keluhan hipertensi dan gula darah tinggi.
Selain itu, Gatot Brajamusti juga memiliki riwayat penyakit struk.
(*)