"Terus juga ditipu oleh orang Korea, terus ya jalan lagi (usaha saya), ya jatuh bangun, sampai tahun 96 kita ekspor," papar Susi.
Lalu beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2001 silam, Susi kembali menemui hambatan dalam menjalankan bisnisnya karena ekspornya tiba-tiba harus terhenti.
Hal itu dipicu minimnya hasil tangkapan laut yang seharusnya menjadi komoditas yang akan diekspor.
Saat itu, ia pun kesal dan malah menyalahkan nelayan yang bermitra dengannya.
"Namun tahun 2001 juga berhenti, tidak bisa ekspor lagi karena produk perikanan hilang, ikannya hilang semua. Saya pikir ya saya marahin nelayan 'kamu jaringnya merusak, terlalu kecil mata jaring, dan lain-lain'," tegas Susi.
Empat tahun berlalu, tepatnya pada 2005, Susi akhirnya bisa membeli pesawat.
Saat punya pesawat itulah, ia baru mengetahui bahwa di tengah laut banyak beroperasi kapal besar yang menangkap ikan.
Itu yang menurutnya menyebabkan hilangnya hasil perikanan bagi para nelayan yang juga turut berdampak padanya sebagai eksportir komoditas satu ini.
Namun saat itu, kata dia, kehadiran kapal-kapal besar milik asing itu memang telah memiliki izin dari pemerintah.
"Tapi belakangan, setelah saya punya pesawat tahun 2005, saya baru menyadari banyak kapal besar di tengah laut sana yang operasi menangkap ikan. Nah kapal besar itu mulai banyak di tahun 2001, Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka izin kapal-kapal asing bisa menangkap ikan di Indonesia dengan memberi izin konsesi," jelas Susi.