"Hukum seharusnya tidak menuntut kami karena kami membuat konten pribadi."
"Hukum seperti ini merugikan perempuan dan kelompok marjinal lainnya."
"Korban revenge porn, misalnya, akan takut melaporkan kasusnya ke penegak hukum," ujarnya.
Melengkapi pernyataan Olin, Lembaga Reformasi Peradilan Pidana yang berbasis di Jakarta menyoroti pengecualian dalam Pasal 4 Undang-Undang Anti-Pornografi.
Disebutkan dalam pasal tersebut, pencipta konten pribadi dan dewasa tidak dapat dikriminalisasi.
Pasal itu bertentangan dengan Pasal 8 undang-undang yang sama, yang menyatakan bahwa orang Indonesia dilarang menjadi model atau objek dalam konten pornografi apa pun.
"Pihak berwenang harus memahami bahwa jika (Gisella dan Defretes) tidak ingin membagikan video tersebut kepada publik atau untuk tujuan komersial, maka mereka adalah korban yang harus dilindungi."
"Penyidik harus mengembalikan fokus mereka untuk menyelidiki para pelaku yang membagikan video itu kepada publik," kata lembaga itu dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, Mariana Amirudin, komisaris di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, mengatakan kasus-kasus seperti ini lebih merugikan pihak perempuan.