"Kalau diperinci, yang membantu kita dulu itu para pemain angklung 400-an, pegawai 200-an, perajin sekitar 100-an lebih. Kemudian yang lain-lain supplier-nya, jadi di total hampir 1.000 orang. Sekarang 96 persennya terpaksa dirumahkan, karena kami tidak ada cara lagi untuk membayar upah kerja keras mereka. Jadi hanya tersisa 40 orang, itupun upah mereka dibayar setengahnya," ujar Taufik.
Taufik juga berharap ada bantuan dari pemerintah daerah terkait keberlangsungan Saung Angklung Udjo kedepannya.
Tentunya kita berharap bahwa Saung Angklung Udjo dapat bertahan karena bagaimanapun objek wisata ini adalah salah satu tempat wisata yang mempunyai peran penting dalam memperkenalkan budaya Jawa Barat pada wisatawan lokal dan mancanegara.
Dikutip dari Kompas.com oleh Grid.ID, Saung Angklung Udjo sendiri didirikan oleh Udjo Ngalagena atau Mang Udjo beserta istrinya Ny Uum Sumiati pada tahun 1966.
Tempat wisata ini sangat khas dengan pertunjukan angklungnya yang dimainkan oleh anak-anak usia balita hingga remaja di hadapan pengunjung dalam sebuah aula.
Pertunjukan angklung mereka sangat interaktif karena ada sesi di mana mereka mengajak para pengunjung untuk tampil dan bermain angklung bersama.
Walaupun sempat mengalami krisis pada tahun 1990-an dan kehilangan wisatawan mancanegara, Saung Angklung Udjo tidak menyerah dan berusaha untuk menjangkau wisatawan domestik.
Mereka berupaya untuk mengundang dan bahkan mendatangi sekolah agar menonton pertunjukan angklung.
Ketika Mang Udjo selaku pendiri Saung Angklung Udjo meninggal pada tahun 2001 lalu, usaha melestarikan kebudayaan Jawa Barat ini akhirnya diteruskan oleh anak-anaknya.
Oleh sebab itu, Taufik mengaku tidak akan menyerah dalam mempertahankan Saung Angklung Udjo.
"Rencana ke depan saya tetap punya optimisme karena berhentinya saung bukan saya sebagai pribadi tetapi juga ada banyak pasukan (karyawan) saya. Saya akan berjuang bagaimana caranya agar mereka bisa hidup," kata Taufik seperti yang dikutip dari TribunJabar.com oleh Grid.ID.
(*)