Laporan Wartawan Grid.ID, Novia Tri A
Grid.ID - Beberapa waktu lalu, empat ibu di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat telah menyedot perhatian publik.
Senter menyita perhatian dan rasa prihatin, viralnya empat ibu rumah tangga itu bermula dari hal sepele.
Ya, bermula dari protes akibat bau tembakau, empat ibu di Lombok Tengah itu dikabarkan telah melempari atap pabrik dengan sebuah batu.
Sekalipun tak mengalami kerusakan parah, pihak pabrik justru menyeret empat ibu tersebut ke meja hijau.
Dikutip dari TribunLombok.com sebelumnya, Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto mengaku tidak ingin kasus tersebut menjadi bola liar.
Sempat melakukan mediasi antara kedua belah pihak, namun pihak berwajib mengaku tak menemukan penyelesaian secara damai.
“Polres Lombok Tengah melakukan lebih dari dua kali mediasi untuk penyelesaiannya, namun kedua belah pihak tidak menemukan kesepakatan,” kata Kombes Pol Artanto, dalam keterangan pers, Sabtu (20/2/2021).
Kekeh melanjutkan sesuai proses hukum, empat ibu tersebut tidak dilakukan penahanan selama proses penyelidikan.
“Selama proses itu (penyelidikan dan penyidikan) polisi tidak melakukan penahanan,” tegasnya.
Setelah proses hukum terus berlanjut, baru-baru ini empat ibu tersebut kembali menyita rasa prihatin publik.
Bagaimana tidak? Setelah melewati proses hukum yang terus berlanjut empat ibu itu harus menerima hukuman dinilai tak sebanding dengan kerugian.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (26/2/2021), sidang ekspedisi ibu rumah tangga yang protes terhadap pabrik tembakau itu telah digelar di pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah, kemarin.
Pada Kamis (25/2/2021), keempat ibu rumah tangga itu akan dijatuhi Pasal 170 Ayat 1 KUHP dengan ancaman lima tahun enam bulan penjara oleh jaksa penuntut umum.
Mendengar hukuman yang dilontarkan, Ketua Tim Kuasa Hukum empat terdakwa, Ali Usman Ahim menilai hukuman tersebut cukup berlebihan.
Selain gudang milik pelapor bukan area vital, kerusakan yang disebabkan empat pelaku tidak cukup parah.
"Apakah di gudang milik saksi pelapor ini merupakan obyek vital, yang jika rusak itu mengganggu ketertiban umum karena ancaman Pasal 170 ancamannya nggak main-main ya, lima tahun enam bulan," jelas Ali usai sidang di PN Praya, Kamis.
Kembali menegaskan, tuntutan jaksa penuntut umum tak sebanding dengan kerusakan atap pabrik tembakau yang dilempar empat terdakwa tersebut.
"Kami kembali lagi itu pasal yang berlebihan, itu rumusan untuk ketertiban umum. Apakah spandeks (atap) yang penyok ini berakibat pada terganggunya ketertiban umum, seperti apa yang didakwakan Jaksa?" kata Ali.
Selain menyoroti pasal yang berlebihan, Ali juga menyoroti jumlah kerugian yang dinilai sebesar Rp 4,5 juta.
Tak setuju, nilai kerugian itu seharusnya ditaksir oleh seorang ahli, bukan dari pernyataan saksi pelapor.
"Jaksa menyusun konstruksi kerugian nilai kerugian dari pemilik pabrik ini, sebesar Rp 4,5 juta berdasarkan kuitansi diajukan oleh saksi pelapor."
"Semestinya berdasarkan ahli yang menilai bahwa nilai kerugian satu spandeks penyok itu Rp 4,5 juta itu harus dimiliki oleh ahli," terang Ali.
Tak hanya menyoroti kasus yang menimpa terdakwa, Ali juga menyayangkan dakwaan yang dilayangkan jaksa penuntut umum.
Sebab dua dari empat terdakwa merupakan seorang ibu rumah tangga yang masih memiliki balita dan harus menyusui.
"Coba bayangkan empat ibu dengan balita menyusui dan anak sakit lumpuh di rumahnya kemudian didakwakan Pasal 170 dengan ancaman lima tahun enam bulan," pungkas Ali.
(*)