Tapi Alves lebih beruntung dari yang lain. Pemilik tanah mengizinkannya untuk mengelola sekitar dua hektar lahan dengan syarat bagi hasil dimana dia menanam tanaman seperti singkong, jagung, pepaya dan pisang.
"Tapi itu cukup dilematis. Di satu sisi saya bersyukur. Di sisi lain, itu bukan tanah saya dan bisa diambil dari kami kapan saja," ujarnya.
Francisco Ximenes, seorang pemimpin lokal dari distrik Baucau di Timor-Leste, mengatakan hak-hak orang telah dirampas.
"Karena sebagian besar masyarakat Timor Leste adalah petani, mereka membutuhkan tanah untuk mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi sayangnya, kebanyakan orang hidup di atas tanah orang lain dan mereka tidak tahu masa depannya," kata Ximenes.
"Awalnya, ketika kami sampai di sini tahun 1999, kawasan ini adalah hutan. Tidak ada yang mengklaim kepemilikan. Tapi setelah orang menebang pohon dan membuka lahan, satu per satu orang mendatangi kami dan mengklaim kepemilikan."
Ximenes tinggal bersama sekitar 700 keluarga di wilayah milik militer Indonesia. Dia mengatakan suatu kali militer meminta mereka untuk mengosongkan daerah tersebut.
"Tapi kemana kita akan pergi?" pungkasnya.
Menurut Ximenes, pemerintah tidak pernah mendengarkan permohonan sertifikasi tanah tempat mereka menetap.
Dengan meningkatnya harga, semakin sulit bagi orang untuk memperoleh bahkan sebagian kecil tanah.
Mariano Parada, 34, aktivis dari Masyarakat Timor-Indonesia, sebuah kelompok nirlaba yang mengadvokasi warga Timor Leste di Kabupaten Belu, mengatakan bahwa setelah UNHCR mengakhiri tugasnya pada tahun 2002, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih repatriasi atau pemukiman kembali.