"Tapi sekarang dicampur dengan daging ayam, karena daging sapi cukup mahal," papar dia.
Sekitar tahun 2000, Harsono memasang telepon rumah. Ketika cilok yang dijual sudah habis, Harsono tinggal menelpon istrinya untuk membuat lagi.
"Tahun 2000-an itu mulai dikenal, hingga ambil tenaga orang lain karena sudah tidak nutut," terang dia.
Nama Cilok Edy mulai naik daun di kalangan warga perkotaan. Nama itu dipilih karena mudah diingat, meskipun tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Saat itu, Harsono hanya memiliki satu rombong keliling untuk menjual cilok. Dirinya ingin menambah armada, namun tidak memiliki modal.
Akhirnya dia memberanikan diri mengajukan kredit uang ke perbankan senilai Rp 15 juta. Uang itu digunakan untuk membeli rombong Cilok Edy hingga memiliki lima rombong.
Uang itu terus diputar untuk nenambah rombong samapi memiliki sepuluh rombong. Tak hanya itu, permintaan untuk membuka cabang Cilok Edy terus berdatangan dari Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang.
Hanya saja, cabang yang ada di luar kota tidak bertahan lama karena ada kecurangan dari pegawainya.
"Buka di luar kota, cuma penjaganya curang," ujar dia.
Akhirnya ditarik dan tidak ada cabang di luar kota lagi. Harsono mengatakan tantangan yang dihadapi yakni semakin banyak penjual cilok.
Untuk itu, dia semakin meningkatkan cita rasa cilok. Siti Fatimah selalu mengawasi proses pembuatan cilok agar mutunya tidak berubah.