"Istri saya merasa bersalah memikirkan kondisi kerja keras rekan-rekannya."
Sementara itu direktur menganggap kami bersalah karena tidak merencanakan kehamilan dengan baik."
Dalam surat tersebut pria itu menuliskan, "Siapa yang mendapat keuntungan dari giliran yang mereka tentukan untuk memiliki anak?".
Surat itu mendorong banyak pasangan lain mencurahkan permasalahan yang sama.
Pekerja-pekerja lain di Jepang mengaku bahwa mereka dipaksa untuk hidup dengan aturan yang serupa.
Yakni menunggu jadwal untuk menikah dan hamil.
Toko Shirakawa, seorang jurnalis yang khusus mengkaji tingkat kelahiran di Jepang mengatakan bahwa kebijakan ini umum terjadi.
Terutama di tempat kerja atau perusahaan yang mayoritas karyawannya adalah perempuan.
Tujuannya untuk memastikan beban kerja tersebar merata.
Dalam kasus lain, seorang wanita berusia 26 tahun yang bekerja di sebuah perusahaan kosmetik di Mitaka daerah pinggiran Tokyo, mengatakan bahwa dia menerima sebuah email.