Grid.ID - Buku TENTARA KOK MIKIR: Inspirasi Out of the Box Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengungkap banyak dimensi seorang Agus Widjojo yang selama ini belum pernah dibahas oleh buku atau pun di media massa.
Mulai dari kehidupannya di masa kecil, kepribadian dan pertemanannya, kiprahnya semasa di dunia militer, juga persentuhannya dengan masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang hubungan keduanya di masa Orde Baru ibarat minyak dan air.
Dalam buku ini juga dibahas pemikiran-pemikiran Agus Widjojo mengenai dunia militer dalam bahasa yang sederhana.
Kepiawaian Agus Widjojo dalam bergaul menembus berbagai kalangan dan lingkungan apa saja menunjukkan kelincahan seorang yang jarang ditemui baik di dunia akademisi maupun militer.
Ia diterima dan dihormati di kalangan LSM, mahasiswa, dan generasi milenial. Diterima dan disegani pula di kalangan polisi.
Juga akrab dan dekat dengan kalangan pers bahkan menjadi “media darling”.
Agus Widjojo adalah sosok jenderal yang melampaui zamannya, banyak pemikirannya yang berbenturan dengan gagasan orang banyak.
Menjadi orang cerdas dan berpikir melampaui zaman kadang punya konsekuensi.
“Ia harus terbiasa berbenturan dengan banyak orang karena gagasannya yang sulit diterima dan dimengerti orang lain,” ujarnya.
Ketika Presiden Soeharto akhirnya tumbang, militer “babak belur” menghadapi masyarakat yang mengkritik “dosa” masa lalunya.
Saat itu, boleh dibilang TNI menjalani ujian sejarah.
Berani melangkah maju menjadi tentara profesional atau terus mempertahankan dwifungsi ABRI.
Beruntung TNI memiliki perwira-perwira pemikir yang membawa TNI kembali ke khittah-nya.
Keluarnya TNI/Polri dari gelanggang politik, tak lepas dari peran Agus Widjojo dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Keduanya pernah ditugaskan oleh Pangab Jenderal TNI Wiranto pada 1998 untuk menyiapkan konsep reformasi TNI.
Konsep itu dinamakan “Paradigma Baru TNI.”
Kemudian saat menjadi Wakil Ketua MPR dari Fraksi TNI/Polri, Agus Widjojo mengimplementasikan konsep itu.
Dia berhasil membawa TNI/Polri turun lebih cepat dari panggung politik praktis.
Alhasil mulai tahun 2004, TNI/Polri tidak lagi memiliki kursi di parlemen.
Lima tahun lebih cepat dari yang disepakati semula oleh para elite politik.
Agus Widjojo terus melontarkan gagasan reformasi di tubuh militer.
Satu hal yang paling diingat publik adalah ketika ia mewacanakan reformasi Komando Teritorial.
Namun, kali ini dia “babak belur” dihantam oleh koleganya sendiri di TNI Angkatan Darat.
Mereka menolak keras reformasi Komando Teritorial karena dianggap masih menjadi kebutuhan prioritas di Indonesia.
Kolega yang menolak gagasan itu antara lain sahabat sebangkunya semasa di SMP, Mayjen TNI (Purn) Tulus Sihombing dan Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, teman seangkatannya di Akabri 1970.
Meski Luhut tak sependapat dengan gagasan Agus, ia mengakui Komando Teritorial bisa dihapus di wilayah perkotaan.
Sementara untuk daerah-daerah terpencil, teritorial tetap dibutuhkan sampai 10 tahun ke depan.
Jenderal lain yang menolak keras gagasan reformasi komando teritorial adalah Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.
Saking jengkelnya, Kiki menuduh Agus Widjojo terpengaruh gagasan Barat dalam konsep komando teritorial.
Akan tetapi, Agus bergeming.
Ia kukuh pada pendiriannya.
Argumentasi ini dipaparkan Agus dalam tulisan di Bab “Komando Teritorial yang Mengundang Kontroversi”.
Pikiran dan gagasan yang “nyeleneh” dan dianggap berbeda, ditambah lagi dia banyak menempuh pendidikan di Barat, membuat Agus dianggap terlalu maju.
Agus disebut sebagai jenderal pemikir yang melampaui zamannya.
“Pemikiran Agus terlalu ke depan soal teritorial,” kata Luhut. Pernyataan hampir sama disampaikan oleh Tulus Sihombing.
Di luar dinas militer, Agus pernah bergabung di berbagai institusi negara dan lembaga swadaya masyarakat.
Dia, misalnya, sempat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timor Leste yang menangani dugaan pelanggaran HAM Indonesia di Timor Timur.
Kendati ayahnya menjadi korban Tragedi 1965, dia terlibat dalam forum yang mempertemukan kelompok-kelompok yang berkonflik.
Agus Widjojo adalah salah satu pendiri dan selanjutnya jadi penasihat Forum Silaturahmi Anak Bangsa.
Forum yang didirikan pada 2003 ini mempertemukan anak-anak korban konflik politik di seluruh Tanah Air.
Mulai dari Tragedi 1965, DI/TII, Orde Baru dan Orde Lama, dan lainlain.
Agus juga menjadi penggagas sekaligus Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional membedah Tragedi 1965 dari pendekatan sejarah yang diadakan melalui Kemenkopolhukam pada 2016.
Di pemerintahan, Agus pernah menjadi Deputi Kepala Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) di periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kepala UKP3R adalah Marsillam Simanjuntak.
Di luar pemerintah, Agus menjadi Senior Fellow dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Senior Visiting Fellow dari Institut Pertahanan dan Studi Strategis di Singapura.
Ia juga merupakan penasehat di Dewan Institut Perdamaian dan Demokrasi (IPD), yang merupakan lembaga pelaksana Bali Democracy Forum (BDF).
Agus Widjojo juga menulis berbagai artikel tentang isu-isu keamanan dan demokrasi di wilayah Asia Pasifik.
Membaca buku ini orang tak perlu mengerutkan dahi.
Hal-hal berat dan pemikiran yang dalam dari Agus Widjojo bisa dibaca dalam buku yang ditulisnya sendiri yang berjudul “Transformasi TNI dari Pejuang Kemerdekaan menuju Tentara Profesional dalam Demokrasi: Pergulatan TNI Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Diri” yang tebalnya sekitar 738 halaman.
Buku ini lebih memberi ruang pada sisi humanis, keluarga, kemiliteran, dunia LSM, aktivitas organisasi serta kiprah Agus Widjojo yang menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.
Buku Tentara Kok Mikir ditulis oleh Bernarda Rurit dan disunting oleh Nugroho Dewanto.
Buku setebal 440 halaman ini berukuran 15 x 23 cm terdiri dari sebelas bab, ditulis selama satu tahun.
Bernarda Rurit pernah menjadi wartawan Tempo dan Kompas TV, sebelum akhirnya memilih fokus pada penulisan buku.
Bukunya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas berjudul The Children of War bersama dua penulis lain.
Satu biografi lainnya, berjudul Prof. Dr. Josef Glinka, SVD, Perintis Antropologi Ragawi juga diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Ia juga pernah menulis perjuangan Romo Janssen, CM, seorang Belanda yang menjadi Warga Negara Indonesia, yang berkomitmen melayani anak-anak difabel di Indonesia.
Buku lain yang akan diterbitkan adalah biografi mantan Perdana Menteri Timor Leste, Fernando La Sama de Araujo.
Bagi perjalanan karier penulisan Bernada Rurit, Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo adalah orang Indonesia pertama sekaligus tokoh militer pertama yang ia tulis.
(*)