Tidak hanya sabun batangan, namun beberapa benda lain seperti besi, koin, baterai bahkan pasta gigi.
Selain itu, aksi memakan benda-benda tak lazim tersebut ternyata juga berhubungan erat dengan gangguan mental lain yang dialami oleh penderitanya.
Dikutip Grid.ID melalui Kompas.com, Senin (30/8/2021), menurut psikiater Andrea S. Hartmann dari Department of Psychiatry, Massachusetts General Hospital and Harvard Medical School AS, gangguan pica dapat bersifat komorbid atau muncul bersama gangguan mental lain yang lebih membutuhkan penanganan klinis.
Gangguan mental itu mencakup hambatan dalam perkembangan kemampuan intelektual, spektrum autisme, atau gangguan obsesif-kompulsif.
Pica juga bisa terjadi bersamaan dengan gangguan rambut atau kulit, ketika keduanya juga ditelan oleh penderitanya.
Meski begitu, diagnosis pica hanya didiriikan ketika tubuh sudah mengalami masalah serius, misal penumpukan materi dari luar di usus atau lambung (bezoar).
Namun ketika asupan non materi digunakan untuk menekan nafsu makan, seperti dalam anoreksia, maka diagnosis pica tidak akan meyakinkan.
Tidak hanya gangguan mental, pica juga erat dengan gangguan makan lain, misal avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID).
Gangguan ini menyebabkan penderitanya sangat pemilih dan ketat dalam urusan makan.
Penderita memilih makanan berdasarkan aspek sensorinya.
Individu dengan ARFID sangat sensitif pada tekstur makanan.
Dengan pengaturan ketat tersebut, penderita berisiko mencari asupan lain, termasuk materi non-food, asal bertekstur sesuai keinginannya.
Pica pada penderita ARFID juga bisa terjadi tidak disengaja, misal tanpa sadar menelan benda asing.
Menurut Hartman, pemicu pica pada setiap orang berbeda.