RS mengatakan bahwa bukti visum yang dilakukan anaknya tak cukup kuat.
Menanggapi hal itu, pihak Istana melalui Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani meminta Polri kembali membuka proses penyelidikan kasus tersebut.
Mengutip dari Kompas.com, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, meski kasus tersebut terjadi pada 2019, namun Polri diharapkan membuka ulang proses penyelidikannya.
"Walaupun kasus telah berlangsung pada tahun 2019, dan penyelidikan telah dihentikan oleh Polres, KSP berharap agar Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tersebut," kata Jaleswari yag dikutip Grid.ID dari Kompas.com, Sabtu (9/10/2021).
Pasalnya, menurut Jaleswari, kasus tersebut telah melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat.
Ia juga menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo sangat tegas dan tidak menolerir predator seksual anak.
Hal itu dibuktikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebir Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitas, dan Pengumuman Identitias Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Menurut Jaleswari, Presiden Jokowi menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang membuatnya jera, khususnya kasus kekerasan seksual
“Perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak (merupakan) tindakan yang sangat serius dan keji, tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita," jelas Jaleswari.
"Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat," imbuhnya.
Maka dari itu, pihak Istana berharap Kapolri memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus pemerkosaan ayah terhadap 3 anak kandungnya di Luwu Timur.
(*)