Laporan Wartawan Grid.ID, Annisa Dienfitri Grid.ID - Bukan berkat sifat bijaksana sebagai raja, Raja Thailand Maha Vajiralongkorn justru dikenal karena berbagai kontroversi. Raja Vajiralongkorn naik takhta sejak kematian ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej, pada 2016 silam. Baru naik tahta, Raja Maha Vajiralongkorn justru langsung mengalihkan semua kepemilikan di perusahaan besar ke ke kantong pribadinya. Belum lama ini, Raja Vajiralongkorn juga menuai kontroversi lantaran malah 'kabur' ke Jerman di tangah pandemi Covid-19. Melansir Daily Mail dari Sosok.ID, Raja Vajiralongkorn melarikan diri ke Jerman dan menyewa satu hotel untuk ditempati bersama 20 selirnya. Raja Vajilangkorn menyewa hotel Alpine yang digunakannya untuk menghabiskan waktu lockdown bersama 20 selir alias budak nafsunya. Mereka memesan seluruh lantai empat yang mencakup ruang hiburan dan dihiasi dengan barang antik Thailand. Staf hotel bahkan dilarang untuk pergi ke lantai empat yang sudah disewa oleh Raja Vajilangkorn.
Melansir Kompas.com, Raja Vajiralongkorn yang naik tahta sejak kematian Raja Bhumibol Adulyadej mengalihkan semua kepemilikan di perusahaan besar yang dikenal sebagai Biro Properti Mahkota (CPB) ke kepemilikan pribadinya. Dengan itu, Vajiralongkorn mampu mengendalikan lebih banyak kekayaan dibandingkan Raja Saudi, Sultan Brunei, dan bahkan Kerajaan Inggris. CPB merupakan salah satu kekayaan kerajaan terbesar di dunia. Perusahaan induk rahasia yang kepemilikan sahamnya ada di perusahaan-perusahaan blue chip Thailand, tepatnya di ibu kota Bangkok. Melalui biro tersebut, menurut Los Angeles Times, Vajiralongkorn mampu membayar semua beban yang dipanggulnya sebelum naik tahta seperti tuduhan korupsi terhadap orang tua, saudara laki-lakinya, dan pamannya yang juga diturunkan dari jabatan senior sebagai polisi. Aset yang diperkirakan memiliki nominal 70 miliar dollar AS itu kini dituntut oleh gerakan pro-demokrasi yang meminta transparansi keuangan monarki dan batasan pada kekuatannya yang selama ini diketahui sangat luas. “Ketika para pengunjuk rasa berbicara tentang monarki sebagai sebuah institusi, CPB adalah intinya,” kata Pongkwan Sawasdipakdi, dosen di Thammasat dan kandidat doktor dalam hubungan internasional di USC, dikutip dari LA Times. "Salah satu hal utama yang dipikirkan orang adalah bagaimana monarki dapat mengumpulkan kekayaan yang sangat tinggi dan kami benar-benar tidak tahu apa pun soal itu." Dibentuk tahun 1936, CPB beroperasi 'di dunia bawah' yang legal, tidak termasuk dalam lembaga pemerintah dan swasta, ataupun bagian dari istana.
Dewan direksi, yang dipilih sendiri oleh raja, juga tidak merilis laporan keuangan. Sebagian besar kepemilikannya tetap menjadi misteri. Namun, portofolio biro tersebut memperkirakan Raja Thailand menjadi raja terkaya di dunia, dengan kepemilikan vila tepi danau di luar Munich, Jerman, dan menyewakan hotel di Pegunungan Alpen Bavaria. Investasi terbesar biro ini ada di Siam Commercial Bank dan Siam Cement Group, industri konglomerat yang memegang 34 persen saham senilai 8 milliar dollar AS akhir tahun lalu. Meski saham bank telah kehilangan setengah nilainya selama pandemi, sebanyak 342 juta dollar diberikan kepada raja pada tahun 2019. Menurut jurnal yang ditulis Porphant Ouyyanont, akademisi Thailand yang merupakan otoritas terkemuka di biro pada tahun 2015, raja mempunyai beberapa aset. Raja memiliki kepemilikan tanah termasuk 5,5 mil persegi yang tersebar di distrik-distrik dengan nilai sewa tinggi di pusat ibu kota Bangkok. Aset itu bernilai 32 miliar dollar AS pada tahun 2015, tetapi hanya sedikit yang digunakan untuk penyewaan komersial.
(*)