Penjajaran hal sehari-hari dengan hal-hal serbabesar adalah salah satu cara, yang sekaligus merupakan siasat favorit Seneca, untuk mengelola amarah.
Tentu, harus dimulai lebih dulu dengan menyadari muasal amarah.
“Penyebab amarah adalah perasaan tersakiti,” tulis Seneca. Kita mengerti, orang bisa marah karena perkara yang beragam: diejek, disenggol sampai jatuh, diserobot antreannya, dinyinyiri oleh warganet yang bahkan kita tidak kenal dia siapa, dan sebagainya.
Namun, inti dari semua sebab itu adalah perasaan tersakiti, persis seperti yang dibilang Seneca.
Baca Juga: Lebih Penting dari IQ, 11 Sifat ini Menunjukkan Kamu Memiliki Kecerdasan Emosional yang Lemah!
Lantas bagaimana kita sebaiknya merespons perasaan tersakiti itu supaya tidak berlanjut menjadi amarah?
“Jangan langsung bertindak, bahkan terhadap sesuatu yang tampak jelas dan sederhana; terkadang kepalsuan tampil sebagai kebenaran... dan kita menjadi marah sebelum menggunakan daya penilaian kita,” kata Seneca.
Sering terjadi, orang marah karena sesuatu yang ternyata salah paham, ternyata bukan hal yang sewajarnya menyulut amarah.
Lalu, rasa malu biasa muncul setelah itu, bahwa orang sadar dengan marah ia melakukan hal gegabah.
Sering juga, rasa malu itu direspons dengan amarah yang lain lagi, yang muncul dari denial, dari penyangkalan dia sendiri.
Amarah bisa mendatangkan masalah berkepanjangan, jauh lebih panjang dari yang kita kira.
Maka, sekali lagi: jangan marah, pokoknya, jangan marah— jangan memulai masalah!