Salah-salah bisa diganyang oleh kawan sendiri.
Akhirnya mereka toh bisa bertemu dengan rekan-rekannya. Pos mereka di Teluk Arago.
Kapal tak dapat dinaikkan ke darat, karena sudah telanjur air surut. Padahal kapal sama dengan urat nadi.
Tanpa kapal mereka tidak mungkin dapat berkutik. Lagi pula kapal tersebut dapat memberi petunjuk kepada musuh.
Tetapi sekarang tak ada jalan lain, daripada menunggu sampai sore hari.
Selama itu awak Angin Mamiri menggunakan kesempatan untuk terjun ke laut. Badan rasanya sudah ketat.
Beberapa hari tidak pernah menyentuh air. Baru enak-enaknya mandi, tiba-tiba ada seorang berteriak, “Kapal musuh!”
Kapalnya memang terlihat memakai bendera merah putih. Tetapi tidak mungkin kapal Republik Indonesia berlayar dengan seenaknya di perairan tersebut.
Herlina merangkak keluar di bawah hujan peluru. Bagaimanapun juga mereka yakin, Belanda tidak akan berani mendarat.