Meski begitu, Akademisi Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai perluasan ketentuan pasal perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) justru berpotensi disalahgunakan.
Menurut Agustinus, tak menutup kemungkinan perluasan pasal zina memunculkan tindakan kejahatan lain, yakni pemerasan. "Apa yang akan terjadi (jika perluasan pasal zina disahkan)? Pemerasan.
Ini ekses negatif yang kemungkinan bisa terjadi dan ini yang harus diantisipasi," ujar Agustinus dalam sebuah diskusi bertajuk 'Membedah Konstruksi Pengaturan Buku I Rancangan KUHP' di Kampus Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (7/5/2018).
Pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anak. Dalam KUHP sebelum revisi, perbuatan seksual di luar perkawinan tidak dikategorikan sebagai tindak pidana.
Perbuatan zina hanya dapat dipidana dengan mensyaratkan adanya ikatan perkawinan para pelaku.
Agustinus menjelaskan, dalam suatu hubungan seksual antara dua orang, bukan tidak mungkin salah satu pihak akan menekan pihak yang lain dengan memberikan ancaman untuk melapor.
Salah satu pihak dapat meminta kompensasi atau pemberian uang ke pihak lain jika tidak ingin dilaporkan.
Jika pasal tersebut nantinya disahkan, Agustinus khawatir ketentuan itu justru akan memfasilitasi seseorang dalam melakukan pelanggaran hukum.
"Saya khawatir justru UU akan memfasilitasi bentuk kejahatan semacam ini karena orang seperti diberi semacam power untuk bisa menekan melalui peraturan hukum," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di Grid.ID dengan judul Masih Nekat Jadi Pelakor, Kini Bisa Dijerat Hukum dan Pidana!
(*)