Di antara yang menganiaya itu, terdapat pasien yang sering datang ke Puskesmas Kiwirok, dan dilayani dengan baik.
Ah… apa bedanya dengan Guru Veronika? Ia diperkosa gerombolan yang dipimpin bekas muridnya di sekolah dasar.
Untuk menjadi catatan, sekalipun Distrik Kiwirok hanya bisa dijangkau dengan pesawat maksimal bermuatan dua belas penumpang, kondisi bangunan dan fasilitasnya lebih lengkap dibanding Puskesmas di distrik-distrik lainnya.
Seolah-olah ada pembiaran, katanya. Kali ini, biarlah senyam menemani sesapan kopi pahit.
Kiwirok seolah mengulang apa yang terjadi di Nduga. Pesan apa yang sesungguhnya hendak disampaikan KKB ketika menganiaya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan?
Bukankah dua profesi itu menjadi tulang punggung untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat?
Bukankah jumlah guru yang mau mengabdikan diri ke daerah terpencil hanya berhenti pada hitungan jari-jari?
Begitu juga tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat yang jumlahnya lebih sering berkurang daripada semakin bertambah.
Dalam buku Duka dari Nduga, KKB “menghabisi” para pekerja yang membangun jembatan di Distrik Yigi, dengan alasan, mereka adalah aparat keamanan yang menyamar.
Di buku itu juga diceritakan, guru dan tenaga kesehatan yang pada awalnya menunda keberangkatan ke Mapenduma karena kabar bahwa kondisi keamanan tidak memungkinkan, terpaksa mencarter pesawat karena ada desakan untuk segera menuju ke tempat pengabdian.
Mereka tidak pernah menyesali uang puluhan juta yang dikeluarkan untuk sewa pesawat.
Namun ketika setiap pengorbanan yang sudah dilakukan atas nama pengabdian pada masyarakat, diabaikan, bahkan dianggap sepi, kepada siapa kelu harus ditujukan?