Find Us On Social Media :

Satu Dunia Kena Tipu! Bukan Titanic, Inilah Kisah Kapal Pesiar Paling Tragis yang Disebut Sebagai Bencana Maritim Terbesar Sepanjang Sejarah, Misteri di Baliknya Kini Terungkap

By Grid, Selasa, 25 Januari 2022 | 10:10 WIB

Kapal Wilhelm Gustloff

Grid.ID - Ketika pertama kali film Titanic ditayangkan pada akhir tahun 1997, sambutan yang diterimanya begitu gegap gempita.

Para sineas memujinya sebagai sinema terbaik, karya terhebat, juga film yang dibuat dengan cerdas dan mengagumkan.

Tak tanggung-tanggung, 4 penghargaan Golden Globe dan 11 piala Oscar pun berhasil diboyong.

Belum lagi sederet penghargaan lainnya yang daftarnya terlalu panjang untuk disebutkan.

Tak ayal, kepopuleran itu membuat sejarah kapal Titanic dikenal cukup luas.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kapal mewah yang digadang-gadang mustahil tenggelam itu ternyata mengalami nasib buruk pada pelayaran pertamanya, hantaman ke gunung es membuatnya karam dan menewaskan 1.500 penumpang.

Peristiwa itu pun dianggap sebagai salah satu tragedi paling terkenal dalam sejarah dunia maritim.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa tiga puluh tiga tahun setelah Titanic terkubur di samudera, ada satu kapal mewah lain yang mengalami kejadian serupa, bahkan dengan nasib yang jauh lebih tragis.

Wilhelm Gustloff adalah kapal pesiar asal Jerman yang awalnya dijadikan arena berlibur bagi para pendukung Nazi.

Baca Juga: Sukses Taklukkan Hati Mantan Menantu Keluarga Cendana, Cucu Raja Kapal ini Malah Dihina Pakai Baju Kayak Tukang Parkir Meski Kekayaannya Seabrek, Ternyata ini Alasannya

Namun, di tengah kecamuk Perang Dunia II, kapal tersebut dialihfungsikan menjadi armada pembantu perang.

Hingga akhirnya, pada tahun 1945, Wilhelm Gustloff ditugaskan untuk mengangkut pengungsi dari Pelabuhan Gotenhafen di Prusia Timur ke Jerman.

Kisah tentang Wilhelm Gustloff jarang dicantumkan dalam buku-buku sejarah.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa itu terjadi karena Adolf Hitler berusaha keras meredam semua berita buruk demi bisa menyelamatkan nama Reich Ketiga yang mulai pesimis akan memenangkan perang.

Dan imbasnya masih terasa sampai sekarang.

Peristiwa kapal nahas itu hanya disebutkan sekilas-sekilas seolah tidak penting.

Karena itulah kita patut berterima kasih kepada Ruta Sepetys, penulis keturunan Lituania kelahiran Amerika, yang mendedikasikan hidupnya untuk menuliskan bagian-bagian sejarah yang nyaris tersamarkan oleh waktu.

Berkat novel karyanya yang berjudul Salt to the Sea, Sepetys sukses mengangkat Wilhelm Gustloff ‘ke permukaan’, memperkenalkannya kepada para penyuka literasi terutama pembaca dewasa muda.

Kisah novel ini terbagi dalam empat sudut pandang tokoh utama remaja yang berasal dari negara serta latar belakang berbeda: Joana, seorang perawat asal Lituania; Florian, seorang pengembara asal Prusia; Emilia, seorang gadis asal Polandia; dan Alfred, seorang serdadu asal Jerman.

Baca Juga: Kenang 17 Tahun Tragedi Tsunami, Sejumlah Pejabat Negara hingga Ustaz Kenamaan Tanah Air Bertolak ke Aceh, Intip Sejumlah Agenda yang Akan di Lakukan di Sana!

Kedengarannya rumit, memang.

Tapi, meskipun pembaca harus bergantian menatap dunia yang tersaji lewat mata yang berbeda, Sepetys menggunakan diksi yang lugas dan sederhana, hingga kita bisa dengan mudah diajak meresapi jalan ceritanya.

Sepetys juga mampu menggambarkan kengerian perang yang harus dihadapi para tokoh remajanya, menceritakan betapa besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan diri dan betapa mereka dipaksa keadaan untuk bisa bersikap dewasa.

Lewat bermacam peristiwa menegangkan demi bisa bertahan hidup, dan setelah bersaing dengan ribuan pengungsi lain, keempat tokoh tersebut bersua di Wilhelm Gustloff.

Tanpa tahu bahwa kapal itu mungkin akan menjadi tempat mereka meregang nyawa.

Butuh tiga kali tembakan torpedo dari kapal selam Rusia untuk membuat Wilhelm Gustloff tenggelam.

Sekitar 10.000 penumpang—setengahnya anak-anak—menjadi korban keganasan perang di Laut Baltik.

Karena itulah peristiwa ini disebut sebagai bencana paling mematikan dalam sejarah maritim.

Riset yang dilakukan Sepetys untuk menulis Salt to the Sea tidaklah main-main.

Baca Juga: Niat Hati Bahagiakan Keluarga di Hari Lebaran Justru Berujung Tragedi Perahu Terbalik, Mustakim Sesalkan Tujuan Baiknya: Saya Tidak Mempunyai Firasat Apapun dengan Kejadian Ini

Butuh waktu bertahun-tahun baginya melakukan perjalanan ke setelah lusin negara berbeda untuk bisa menyelesaikan naskah itu.

Usahanya tidak sia-sia, Salt to the Sea telah diterbitkan di enam puluh negara dan diterjemahkan ke dalam empat puluh bahasa.

Novel tersebut juga menerima banyak penghargaan literasi seperti Carnegie Medal, Golden Kite Award, dan Audie Award.

Pada Agustus 2021, Majalah Time juga memasukkan Salt to the Sea sebagai salah satu dari 100 novel young adult terbaik sepanjang masa.

Penasaran pengin baca selengkapnya? Langsung dapatkan bukunya di toko buku Gramedia terdekat atau di Gramedia.com.

(*)