Pemerintah Jepang telah menegaskan bahwa hikikomori merujuk pada orang-orang yang tidak mau meninggalkan rumahnya atau berinteraksi dengan orang lain setidaknya selama enam bulan.
Namun, hikikomori hadir dalam berbagai bentuk. Kondisi seseorang bisa sangat parah sehingga dia tidak memiliki energi untuk bangkit dari kursi menuju toilet.
Sementara, yang lainnya menderita gangguan obsesif kompulsif sangat serius. Mereka mandi beberapa kali dalam sehari atau menggosok lantai toilet selama berjam-jam. Ada juga yang mengaku bermain video game sepanjang hari dan itu membuatnya tenang.
Jeff Kingston, profesor studi Asia di Temple University mengatakan, hikikomori biasanya memiliki gejala sosial yang ekstrem. Mereka tinggal di rumah bersama orangtua yang bisa merawat mereka setiap hari.
"Hikikomori jarang meninggalkan kamar dan rumahnya. Mereka terkunci di dalam dan membatasi interaksi dengan dunia maya. Ini dianggap sebagai penyakit kelas menengah karena hikikomori dari latar belakang seperti itu yang bisa mengandalkan dukungan keluarga mereka," terang Jeff.
Hikikomori ini tercipta dari rasa malu yang mendalam karena keburukan yang mereka alami atau tidak mempunyai pekerjaan seperti orang normal, merasa tidak berharga dan tidak layak untuk kebahagiaan dan terkhianati oleh ekspektasi orangtuanya.
Kondisi sangat depresif di masyarakat Jepang menghadirkan masalah baru berupa penurunan jumlah penduduk.
Populasi penduduk Jepang berdasarkan Daftar Penduduk Dasar pada 1 Januari 2019 tercatat 124.763.464 jiwa atau menurun selama 10 tahun berturut-turut.
Jumlah penurunan sekitar 430.000 orang, tertinggi sejak survei Kementerian Dalam Negeri Jepang dimulai.
Ya, di Jepang jumlah penduduknya bukan hanya tidak mengalami lonjakan, tapi juga mengalami penurunan.
Belakangan, salah satu sumber masalah dari kondisi ini mulai terlihat: jumlah perjaka dan perawan di Jepang meningkat pesat.