Grid.ID - Terkuaknya keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat kini tengah jadi sorotan publik.
Keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat terkuak sering Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Terbit Rencana Peranginangin.
Adanya kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin diduga untuk praktik tindakan perbudakan para pekerja di perkebunan kelapa sawit.
Seperti diketahui, Bupati nonaktif Langkat, Sumatera Utara, yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Terbit Rencana Perangin-Angin, diduga melakukan kejahatan lain berupa perbudakan terhadap puluhan manusia.
Dugaan itu diungkap oleh Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, yang menerima laporan adanya kerangkeng manusia serupa penjara (dengan besi dan gembok) di dalam rumah bupati tersebut.
"Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja."
"Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya," ujar Ketua Migrant Care Anis Hidayah kepada wartawan, Senin (24/1/2022) sebagaimana diwartakan Kompas.com.
"Ada dua sel di dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja setelah mereka bekerja," tambahnya.
Anis menyebutkan, jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.
Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya.
Setelah dimasukkan ke kerangkeng selepas kerja, mereka tidak memiliki akses untuk ke mana-mana dan hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak.
Terlepas dari itu, kejadian serupa ternyata juga terjadi di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur.
Menurut kesaksian masyarakat desa Gunung Sari, kecamatan Segah, Kabupaten Berau, PT HHM pertama kali melakukan pem bersihan lahan pada tahun 2004.
Mereka menjanjikan pekerjaan kepada masyarakat setempat higga memberi fasilitas yang tidak layak.
Menurut Laporan Sawit Watch pada 2010 yang berjudul "Perbudakan di Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim," salah seorang pekerjanya yang bernama Joel Ofneil, mengeluhkan fasilitas tersebut.
Katanya, “Dulu pihak perusahaan berjanji akan memberikan penginapan yang layak tapi di sini kami hanya diberi barak yang dibagi per kamar."
"Ukuran kamar yang hanya 1,5 x 2 m harus dihuni 4 sampai 5 orang."
"Bahkan terkadang bisa lebih dari jumlah itu.”
“Setiap harinya saya bekerja sebagai penyemprot. Kalau makan memang kami dikasih 3 kali sehari dari dapur umum."
"Tapi hanya nasi putih dan ikan asin tanpa sayur."
"Terkadang nasi itu penuh kutu. Terkadang ikan asin itu sudah berulat,” kata Genu.
"Air untuk minum dan mandi, kami ambil dari parit” kata Semariam.
“Sesekali memang ada truk air perusahaan datang mengantarkan air minum, tapi paling hanya satu kali sebulan,” lanjutnya.
Sangononi Zebua sebagai salah satu buruh juga memberi kesaksian atas meninggalnya 2 orang pekerja dari Nias.
“Keduanya memang dipulangkan oleh perusahaan ke kampung halamannya. Tapi pesangon yang diberikan hanya Rp 3 juta."
"Sudah hidup menderita, matipun hanya dihargai seperti itu,” lanjut Zebua.
Melihat buruknya kondisi buruh di perkebunan sawit milik PT HHM itu, para pekerja sempat pun melawan memberanikan bertemu DPRD dan pemerintah, meski tak luput justru dikriminalisasikan.
Artikel ini telah tayang di laman Intisari dengan judul: 'Sudah Hidup Menderita, Mati pun Hanya Dihargai Sekenanya', Kisah Pilu Pekerja Kebun Sawit Seperti yang Diduga Dikerangkeng oleh Bupati Langkat, Minum dari Parit (*)