Laporan Wartawan Grid.ID, Rissa Indrasty
Grid.ID - Empat orang pengamen, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16), menemukan sesosok mayat di bawah kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan pada 2013 silam.
Namun, keempat orang tersebut justru dituduh sebagai pelaku pembunuhan.
Disamping itu, keempat pelaku diketahui mendapat penyiksaan dari para polisi dan dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
Kisah malang mereka akhirnya menemui titik terang ketika Mahkamah Agung menyatakan jika Fikri dan ketiga rekannya tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan Cipulir.
Keempatnya bebas pada tahun 2016 berkat putusan Mahkamah Agung Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
Tiga tahun berselang, kini keempat korban dengan ditemani oleh LBH Jakarta, menuntut ganti rugi sebesar Rp 746 juta kepada Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Kuasa hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, mengatakan jika korban berhak menuntut ganti rugi.
"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ungkap Oky, dikutip Grid.ID dari Tribun Jakarta.
Oky mengatakan jika keempat korban kehilangan waktu yang sebenarnya bisa membuat kehidupan mereka lebih baik.
"Mereka enggak bersalah, sebenarnya mereka bisa kerja akhirnya gara-gara dipidana, enggak kerja kan, ini yang dituntut," tegasnya.
Jumlah kerugian yang dituntut pihak korban sebesar Rp 186.600.00 untuk per anak, yang kemudian ditotal menjadi sebesar Rp 746,4 juta.
Namun, Hakim tunggal sidang praperadilan empat pengamen Cipulir, Elfian, menolak seluruh gugatan pihak pemohon.
Dikutip Grid.ID melalui Kompas.com, Kamis (3/2/2022), Hakim menolak permohonan ganti rugi lantaran materi permohonan telah kedaluwarsa.
Hal tersebut dikatakan Elfian ketika memimpin sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (30/7/2019).
"Menetapkan menyatakan hak menuntut ganti kerugian para pemohon gugur karena kedaluwarsa. Menolak permohon para pemohon untuk seluruhnya," ujar hakim Elfian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (30/7/2019).
Hakim menilai permohon kedaluwarsa karena pihak kuasa hukum pengamen Cipulir, yakni Oky Wiratama Siagian, seharusnya mengajukan gugatan ganti rugi tiga bulan setelah petikan dari Mahkamah Agung diterima pengggugat.
Petikan Mahkamah Agung yang membebaskan keempat pengamen itu telah diterima kuasa hukum sejak 11 maret 2016.
Hakim menilai seharusnya gugatan ganti rugi diajukan dalam kurun tiga bulan setelah petikan diterima. Namun, kuasa hukum keempat pengamen Cipulir tersebut baru mengajukan gugatan praperadilan tiga bulan setelah menerima salinan putusan pada 25 Maret 2019.
Kuasa hukum keempat pengamen Cipulir lantas mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Juni 2019.
"Menimbang bahwa oleh karena petikan atau salinan putusan kedudukannya sama dalam menentukan waktu untuk mengajukan permohonan ganti rugi maka dengan telah diterimanya oleh penasihat hukum para pemohon petikan putusan tanggal 11 maret 2016 dan menerima salinan putusan tanggal 25 maret 2019 bukti P16 maka masa 3 tahun dalam Pasal 7 ayat 1 PP 92/2015 sejak diterimanya petikan putusan tanggal 11 maret 2016," kata Elfian.
"Berdasarkan pertimbangan di atas hak menuntut ganti kerugian para pemohon haruslah dinyatakan gugur karena telah kedaluwarsa dan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya," tambah dia.
Sebelumnya, empat pengamen Cipulir yang terdiri dari Fikri Pribadi, Fatahillah, Arga Putra Samosir (Ucok), dan PAU mengajukan gugatan praperadilan ganti rugi karena jadi korban salah tangkap polisi.
Mereka dituduh melakukan pembunuhan di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 2013.
Karena tuduhan tersebut mereka harus mendekam di penjara selama tiga tahun. Mereka pun bebas tahun 2016 setelah LBH Jakarta memperjuangkan nasib mereka lewat PK di Mahkamah Agung.
(*)