Laporan Wartawan Grid.ID, Rissa Indrasty
Grid.ID - Ironis, merupakan salah satu majas yang berupa sindiran untuk menyebunyikan fakta sebenarnya.
Begitulah kata ironis menjadi kata yang tepat untuk disematkan kepada nasib Fikri, Fatahillah, Ucok dan Pau, Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto.
Keenamnya merupakan pengamen korban salah tangkap kasus pembunuhan.
Namun, enam dari empat pengamen ini dikatakan masih belum bisa dibilang dewasa, yaitu Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16).
Tahun 2013, takdir membawa mereka menemukan jenazah Almarhum Dicky yang berada di bawah kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan.
Mereka lantas melaporkan penemuan mereka ke sekuriti setempat, yang kemudian langsung menghubungi pihak kepolisian.
Salah satu pelapor, Fikri Pribadi, mengatakan jika saat itu ia dan ketiga rekannya diminta menjadi saksi oleh petugas kepolisian yang datang ke lokasi penemuan mayat.
Alih-alih hanya menjadi saksi, mereka justru disiksa oleh kepolisian dipaksa agar mengaku menjadi pelaku pembunuhan.
Penyiksaan yang tidak manusiawi tersebut dilakukan selama berhari-hari seolah-olah seperti adegan sadis di film-film.
Acuh terhadap usia mereka yang masih dibawah umur, para korban justru dipukuli berkali-kali, diinjak, kepalanya disekap menggunakan plastik hingga sulit bernafas, matanya ditempeli lakban dan disetrum.
Tak tahan oleh tindakan keji tersebut, para korban pun mau tak mau memaksakan diri mengikuti keinginan polisi untuk memutar balikkan fakta bahwa mereka adalah pelaku pembunuhan.
Hingga kasus ini pun naik ke meja hijau dan keempat pengamen dibawah umur ini divonis bersalah oleh hakim.
Usai menjalani hukuman penjara, seperti doa sepertiga malam yang dijabah, kebenaran menunjukkan jalannya.
Para pengamen tersebut terbukti tak bersalah usai pembunuh sebenarnya ditemukan.
Keempatnya bebas pada tahun 2016 berkat putusan Mahkamah Agung Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
Tiga tahun berselang, keempat korban dengan ditemani oleh LBH Jakarta, menuntut ganti rugi kepada sebesar Rp 746 juta kepada Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Bukannya berbuah hasil yang baik, gugatan ganti rugi yang dilayangkan korban kepada Polda Metro Jaya justru ditolak oleh Yang Mulia Majelis Hakim.
Hal ini semakin menunjukkan, 'katanya sih hukum itu tumpul ke atas dan runcing ke bawah,' alias keadilan tak berpihak pada rakyat wong cilik.
Dikutip Grid.ID melalui Kompas.com, Kamis (3/2/2022), berdasarkan data yang dirilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, pengaduan atas kasus salah tangkap hingga penyiksaan oleh oknum kepolisian dalam tiga tahun terakhir cukup tinggi. Tercatat sebanyak 37 kasus yang dilaporkan.
Tak hanya para pengamen korban salah tangkap Cipulir, kasus salah tangkap juga dialami oleh tiga orang warga Tangerang bernama Aris, Bihin, dan Heryanto.
Pada April 2017, ketiganya diamankan polisi dari Subdit Jatanras, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya atas kasus pencurian sepeda motor.
"Nah kejadian pencurian sepeda motor itu sebenarnya terjadi pada Juni 2016. Kejadiannya pun di daerah Bekasi," kata Bunga, kuasa hukum Aris, Bihin, dan Heryanto saat ditemui di kantor LBH Jakarta di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/6/2017).
Dari ketiganya, lanjut Bunga, Aris dan Bihin yang diamankan pertama kali yaitu saat mereka berada di sebuah Indomaret di Tangerang pada April lalu.
"Tidak ada surat penangkapan apapun pada saat itu. Mereka hanya diberitahu akan menjadi saksi kasus pencurian sepeda motor. Karena terdesak, keduanya mengikuti perintah polisi," kata dia.
Tak lama berselang, lanjut Bunga, polisi menggrebek kontrakan Bihin dengan dalih mencari barang bukti lain. Saat itu Bihin tinggal satu kontrakan dengan Heriyanto.
"Heriyanto akhirnya juga diciduk karena mau dijadikan saksi," kata Bunga.
Baca Juga: Pipi Bocah 14 Bulan Terkena Panah saat Sedang Dibonceng Pamannya, Begini Kondisinya Sekarang
Beberapa hari kemudian kakak kandung Hetiyanto, Lasrti datang untuk menjenguk adiknya itu di Subdit Jatanras, Polda Metro Jaya. Ia mendapati tubuh Heriyanto penuh luka.
"Katanya adik saya ditonjok, dipukul, disetrum, diludahin sama polisi. Kata polisi adik saya sudah mengaku terlibat dalam pencurian itu," kata Lastri.
Lastri yang tak percaya adiknya terlibat dalam tindak kejahatan menanyakan kepada petugas polisi mengenai detail perkara.
"Katanya pencuriannya bulan Juni 2016. Padahal adik saya baru pertama kali datang merantau ke Tangerang bulan Agustus 2016 dari Palembang. Bagaimana mungkin terlibat?" kata Lastri.
Menurut Lastri, Heriyanto terpaksa mengakui perbuatan yang tak pernah ia lakukan karena sudah tak kuat menahan siksaan polisi dan dijanjikan tak akan disiksa lagi jika sudah mengaku bersalah.
Beruntung Heriyanto dan dua rekannya mendapatkan bantuan hukum dari LBH Jakarta yang membantunya mengajukan praperadilan.
"Kami ajukan praperadilan dan menunjukkan berbagai bukti yang sangat kuat, diantaranya tiket Heriyanto dari Palembang menuju Jakarta pada Agustus tahun lalu dan akhirnya kami memenangkan praperadilan pada 13 Juni 2017," kata Bunga.
Bunga mengatakan, saat ini Heriyanto dan kedua kawannya tinggal menunggu penyelesaian prosedur administrasi dan akan segera dibebaskan.
"Kami sangat menyayangkan sikap kepolisian yang semacam ini. Keluarga berharap Heriyanto dan dua rekannya segera bebas dan dapat berlebaran bersama keluarga," kata dia.
(*)