Bahkan, keperawanan di dunia kuno mungkin merujuk pada apakah seorang wanita menikah atau lajang.
Dalam contoh lain, Herodotus menggambarkan tes keperawanan lain dalam festival Ibyia (Tunisia modern) yang melibatkan beberapa kereta kuda yang dikendarai gadis-gadis muda yang dibagi menjadi dua kelompok yang dipersenjatai dengan tongkat dan batu.
Para wanita ini akan bertarung sampai mati.
Mereka yang meninggal dianggap 'bukan perawan' dan mereka yang selamat akan menjadi 'perawan' dan siap menikah.
Menurut Hanne Blank, adalah hal biasa bagi seorang ayah untuk membunuh putrinya jika dia ketahuan kehilangan keperawanannya sebelum menikah.
Sebab di Yunani kuno, peran seorang putri adalah nilainya dalam perkawinan.
Pernikahan adalah kontrak yang mengikat secara hukum antara dua keluarga untuk mendapatkan kekuasaan, tanah, reputasi, dan perdamaian.
Nilai total seorang wanita bergantung pada keperawanannya.
Dalam contoh lain, kode hukum Kreta dari 450 SM, menyatakan nilai keperawanan pada wanita sebagai komoditas yang sangat penting untuk pernikahan.
Hukuman Kreta untuk perkosaan perawan jauh lebih berat daripada perkosaan non-perawan.
Undang-undang Kreta tentang pemerkosaan pada dasarnya memaksa pemerkosa untuk membayar ganti rugi kepada suami, ayah, atau pemilik budak, menyampaikan perspektif bahwa seorang perempuan dipandang sebagai properti belaka.