“Mungkin dengan menggambar, bermain, bernyanyi, suasananya ramah anak, hingga tergali pengakuan anak, kemudian diwakilkan oleh saksi ahli,” jelas Kak Seto.
Apalagi dengan pertanyaan takut atau tidak dengan mantan pengasuh, hal kekerasan apa saja yang sudah diterima anak dari pengasuhnya, Kak Seto merasa pertanyaan tersebut tidak ramah anak.
Anak bakal kembali mengingat pengalaman traumatis yang dia alami dengan pengasuhnya dahulu.
“Iya (harus dihindari). Artinya akan mengulang pengalaman traumatis anak secara psikologis,” jelas Kak Seto.
Kak Seto khawatir jika orang dewasa berpikiran jika menanyakan hal traumatis kepada anak adalah hal yang sah demi mendapatkan pengakuan.
“Kita orang dewasa, mungkin enggak merasa, lho enggak apa-apa anak bisa ngomong, perlu pengakuan anak,” tuturnya.
Menurutnya hal di atas tentu menyalahi tata cara untuk menjaga kesehatan jiwa anak.
“Jadi, dalam konteks perlindungan anak, demi kesehatan jiwa anak, harus ada mediatornya. Jadi pada saat ditanya tidak ada konteks mengingat peristiwa yang menakutkan yang pernah dialami,” ucapnya lagi.
Menyertakan psikolog bisa menjadi mediator sekaligus saksi ahli adalah cara yang ideal.
Serta tak perlu khawatir jika saksi ahli menyampaikan keterangan yang tidak sesuai.
Kak Seto yakin saksi ahli melakukan pengamatan yang profesional dan melakukan sumpah sebelum menyampaikan keterangannya.
“Saksi (ahli, Psikolog) sudah disumpah, bukan rekayasa, tapi betul-betul hasil dari pemeriksaan psikolgis yang profesional,” tandas dia.
(*)