Find Us On Social Media :

Anak Nindy Ayunda Dicecar Hakim dalam Sidang Dugaan Penganiayaan Mantan Pengasuh, Kak Seto Cermati Beberapa Hal yang Tidak Ramah Anak

By Menda Clara Florencia, Kamis, 31 Maret 2022 | 11:29 WIB

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi.

Laporan Wartawan Grid.ID, Menda Clara Florencia

Grid.ID - Ada beberapa hal yang dianggap tidak ideal oleh Kak Seto ketika kedua anak Nindy Ayunda dihadirkan sebagai saksi dalam sidang penganiayaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pertanyaan yang dilontarkan hakim untuk anak bungsu Nindy, ADPH, dianggap Kak Seto tidak ideal untuk korban penganiayaan.

Kala itu, hakim melontarkan pertanyaan apakah ADPH takut dengan pengasuhnya, Lia, atau tidak.

"Takut enggak sama Mbak Lia?" tanya hakim dikutip dari live fb Grid.ID, Kamis (31/3/2022).

Anak bungsu Nindy itu mengaku takut dengan mantan pengasuhnya.

Saat itu, Lia pun dihadirkan dalam tautan yang sama dalam sidang virtual.

"Takut," jawab ADPH.

ADPH lalu dicecar mengapa dia takut dengan mantan pengasuhnya.

Baca Juga: Makin Panas! Nindy Ayunda Mendadak Singgung Soal Kehamilan ART dan Bapak Kandung yang Fasilitasi Pengacara untuk Pengasuh yang Aniaya Anak Kandungnya, Ada Apa?

"Kenapa takut?" tanya hakim lagi.

ADPH takut lantaran kerap mendapat tindakan kekerasan, yang disebutnya sebagai tindakan ‘nakal’.

"Suka nakal," sahut ADPH.

Hakim kembali bertanya soal apa saja yang diterima oleh anak bungsu dari mantan pengasuhnya

"Nakalnya gimana?” tanya hakim ketua.

"Pukul, tarik, cubit," jawab ADPH.

Sementara itu, pertanyaan serupa itu dianggap tidak layak untuk dilayangkan langsung kepada anak Nindy.

Hal yang dianggap tidak ideal dari kacamata Kak Seto adalah ADPH dicecar langsung oleh hakim.

Sementara menurut Kak Seto, pertanyaan langsung dari hakim kepada anak yang menjadi korban kekerasan tidak sesuai.

Baca Juga: 'Ada Memukul, Mencubit, Menarik Dia ke Kamar Mandi' Dalam Sidang, Nindy Ayunda Beberkan Dugaan Kekerasan yang Dilakukan Mantan ART pada Anaknya yang Terekam CCTV

Harus ada mediator antara Hakim dan anak sebagai korban.

Menurutnya, anak bisa digali keterangannya dengan suasana yang ramah anak, misal dengan permainan, menggambar, atau bernyanyi, bukan dengan pertanyaan lugas soal kekerasan yang anak alami.

“Memanggil profesional, psikolog setelah mewawancarai anak, dan itu disampaikan kepada hakim mengenai keterangan-keterangan itu,” ungkap Kak Seto kepada Grid.ID melalui sambungan telepon, Kamis (31/3/2022).

“Harus ada mediatornya, enggak boleh langsung begitu. Psikolog menjadi saksi ahli menjelaskan bahwa benar jika anak itu mengalami tindak kekerasan, tindakan apa saja,” lanjutnya.

“Mungkin dengan menggambar, bermain, bernyanyi, suasananya ramah anak, hingga tergali pengakuan anak, kemudian diwakilkan oleh saksi ahli,” jelas Kak Seto.

Apalagi dengan pertanyaan takut atau tidak dengan mantan pengasuh, hal kekerasan apa saja yang sudah diterima anak dari pengasuhnya, Kak Seto merasa pertanyaan tersebut tidak ramah anak.

Anak bakal kembali mengingat pengalaman traumatis yang dia alami dengan pengasuhnya dahulu.

“Iya (harus dihindari). Artinya akan mengulang pengalaman traumatis anak secara psikologis,” jelas Kak Seto.

Kak Seto khawatir jika orang dewasa berpikiran jika menanyakan hal traumatis kepada anak adalah hal yang sah demi mendapatkan pengakuan.

Baca Juga: Anak Nindy Ayunda Dipertemukan dalam Satu Ruangan dengan Pelaku Aniaya, Kak Seto Anggap Persidangan Tidak Ideal

“Kita orang dewasa, mungkin enggak merasa, lho enggak apa-apa anak bisa ngomong, perlu pengakuan anak,” tuturnya.

Menurutnya hal di atas tentu menyalahi tata cara untuk menjaga kesehatan jiwa anak.

“Jadi, dalam konteks perlindungan anak, demi kesehatan jiwa anak, harus ada mediatornya. Jadi pada saat ditanya tidak ada konteks mengingat peristiwa yang menakutkan yang pernah dialami,” ucapnya lagi.

Menyertakan psikolog bisa menjadi mediator sekaligus saksi ahli adalah cara yang ideal.

Serta tak perlu khawatir jika saksi ahli menyampaikan keterangan yang tidak sesuai.

Kak Seto yakin saksi ahli melakukan pengamatan yang profesional dan melakukan sumpah sebelum menyampaikan keterangannya.

“Saksi (ahli, Psikolog) sudah disumpah, bukan rekayasa, tapi betul-betul hasil dari pemeriksaan psikolgis yang profesional,” tandas dia.

(*)