Grid.ID - Kisah perjuangan pria yang satu ini patut diacungi jempol.
Sempat hidup melarat, pria ini sekarang sukses sampai berhasil berangkatkan umrah warga sekampungnya.
Rupanya, nasib hidupnya berubah ketika ia menggeluti bisnis umbi porang.
Melansir dari Kompas.com pada Selasa (18/6/2019), Paidi (37) adalah mantan pemulung dari desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun berhasil merubah nasib hidupnya menjadi seorang yang sukses.
Dulunya, Paidi dikenal sebagai seorang pemulung dengan kondisi ekonomi yang sangat kurang.
Rumahnya saat itu hanya berdinding anyaman bambu dan berlantaikan tanah.
Namun, hidupnya kini berubah total setelah dirinya berhasil mengembangkan porang (sejenis umbi yang dapat dijadikan bahan makanan, kosmetik, dll) dan menjadikannya sebuah bisnis.
Tak hanya itu, kini Paidi menjadi sosok yang banyak dicari kalangan petani.
Karena ia telah memberikan modal bagi petani-petani di kampung halamannya untuk mengembangkan porang.
Tak hanya memberikan modal, Paidi juga memberangkatkan sejumlah petani umrah ke Tanah Suci Mekkah.
Hasil bisnis porangnya berhasil hingga di ekspor ke luar negeri.
Pada awalnya, Paidi mengenal porang dari teman sepanti asuhan di Desa Klagon, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.
Di rumah temannya, Paidi dikenalkan dengan tanaman porang dan cara budidayanya.
Tertarik dengan tanaman tersebut, Paidi pun mempelajari budidaya tanaman porang melalui dunia maya.
"Setelah saya cek, ternyata porang menjadi bahan makanan dan kosmetik yang dibutuhkan perusahaan besar di dunia," ungkap Paidi.
Melihat peluang itu, Paidi pun mencari peluang untuk mengembangkan tanaman porang di dunia bisnis.
Namun, ia mendapat kendala pada saat membudidaya porang.
Kondisi lahan pertanian di kampung halamannya mempunyai kontur berbukit-bukit, sehingga memakan waktu panen cukup lama yaitu tiga tahun.
Berbekal pencarian di Google, Paidi mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana mengembangkan porang di lahan pertanian terbuka.
Hasil pencarian itu lalu dikumpulkan dalam satu catatan yang dinamai sebagai revolusi tanam baru porang.
"Menanam porang rata-rata harus di bawah naungan. Di sini, menanam tanpa harus naungan. Kami menggunakan revolusi pola tanam baru," kata Paidi.
Paidi mengatakan, dengan revolusi tanam baru, hasil panennya berbeda jauh dengan pola tanam konvensional yang mengandalkan di bawah naungan pohon.
Dengan menggunakan cara revolusi tanamannya, ia dapat menghasilkan hasil panen maksimal melebihi tanaman konvensional.
"Kalau pakai pola tanam konvensional, panennya paling cepat tiga tahun. Sementara dengan pola tanam baru bisa lebih cepat panen enam bulan hingga dua tahun dan hasilnya lebih banyak lagi," ujar Paidi.
Ia juga berpikir untuk mengejar usahanya yang bersaing dengan pabrik pengelola porang yang semakin banyak.
"Kalau menunggu tiga tahun, lama sekali. Untuk itu, butuh revolusi pola tanam sehingga bisa mempercepat panen," ujar Paidi.
Tak mau sukses sendiri, Paidi tak pelit berbagi ilmu.
Ia membagi ilmu dari cara bertanam hingga memberikan informasi harga porang dengan membuat blog dan channel YouTube yang bisa diakses siapa pun.
"Saya buat tutorial di akun infoasalan atau paidiporang," ungkap Paidi.
Kurang lebih sudah puluhan video yang dibuat oleh Paidi untuk dibagikan pada netizen tentang bagaimana cara membudidaya tanaman porang.
Harapannya, ilmu yang dibagikan di media sosial itu dapat menarik petani di mana pun untuk mengembangkan porang.
Apalagi, porang gampang dikembangkan dan mudah untuk dipasarkan.
Ditanya omzet yang ia dapatkan dari pengembangan porang di Desa Kepel, Paidi mengatakan sudah mencapai miliaran rupiah.
"Sudah di atas satu miliar," kata Paidi.
Selain berbagi melalui media sosial, Paidi juga berbagi ilmu langsung pada petani di kampungnya.
Dengan membagikan bibit unggul gratis sebanyak 30 kilogram, Paidi telah menghitung hasil panennya dalam jangka dua tahun bisa menghasilkan nilai jual seharga Rp 72 juta.
Dengan demikian uang hasil panen tersebut dapat digunakan untuk memberangkatkan umrah sepasang suami istri.
"Uang hasil panen itu bisa untuk memberangkatkan umrah pasangan suami istri. Tetapi kalau panen lebih dari itu, sisa uangnya kami berikan kepada petani,” ujar Paidi.
Paidi menyebutkan, sejauh ini sudah 15 petani yang berangkat umrah setelah mendapatkan bantuan 30 kg bibit bubil.
Harapan ke depan, makin banyak petani yang bertanam sehingga bisa berangkat umrah.
Sementara itu, Kepala Desa Kepel Sungkono menyatakan, banyak warganya ikut menanam porang karena terinspirasi dengan kisah sukses Paidi.
Dua tahun terakhir, hampir 85 persen warga di Desa Kepel menanam porang.
Warga tertarik menanam porang karena harganya yang terus naik dan penanamannya yang lebih mudah.
Sebelumnya, warga banyak yang mengandalkan tanaman cengkeh dan durian, namun hasil panennya kalah jika dibanding dengan porang.
"Tahun lalu penjualan porang di desa kami tembus hingga Rp 4 miliaran. Warga yang memiliki lahan seluas satu hektar bisa meraih untung hingga Rp 110 juta," kata Sungkono.
Sungkono mengatakan, dengan revolusi pola tanam baru, umbi porang yang dihasilkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan penanaman di bawah tegakan.
Perbandingannya mencapai enam kali lipat dibandingkan dengan pola tanam konvensional.
"Dengan menanam porang, warga cukup nandur sepisan, panen selawase (tanam sekali, panen selamanya)," ujar Sungkono.
Untuk membantu petani mengembangkan porang, Desa Kepel memiliki badan usaha milik desa (bumdes) yang akan mengurusi porang mulai pembibitan biar bisa jual sendiri.
Tak hanya itu, bumdes juga siap memberikan pinjaman modal kepada petani yang ingin mengembangkan porang.
Artikel ini telah tayang di laman Intisari.id dengan judul
(*)