Namun, Kartini lebih sering memilih tinggal dengan Ngasirah dan menolak memanggilnya "Yu".
Kartini juga memberikan syarat mau menikah jika ibu kandungnya itu dibebaskan masuk pendopo.
"Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu, terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa," kata Tegoeh saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Selasa (28/4/2020).
Dalam tulisannya, Kartini menentang praktik poligami.
"Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah dan kemudian, bila bosan pada anak-anaknya, ia dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam?" tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar.
"Dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah?" sambung Kartini.
Menikah dengan Bupati Rembang
Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada November 1903 di usia 24 tahun.
Suaminya itu sudah memiliki tujuh anak dan dua selir. Bahkan, putri tertua suaminya itu hanya berselisih delapan tahun dengan Kartini.
Joyodiningrat menduda sejak garwo padmi atau istri utama meninggal