Akhirnya Hasanudin resmi menjadi seorang mualaf di usia 43 tahun.
Ia kemudian merantau ke Sukabumi, Jawa Barat, dan memulai hidup baru dengan sang istri.
Di sana ia kembali memulai hidupnya yang baru dan mencoba melupakan masa lalunya.
Kehidupan jadi mualaf membuatnya menjadi pribadi yang selalu bersyukur bahkan ada satu momen dimana dirinya selalu mendapatkan pertolongan tak terduga.
Pernah pada suatu ketika, ia dihadapkan kesulitan saat sang anak membeli sepatu dan diharuskan membayar uang sekolah sebanyak Rp 300 ribu.
Saat itu ia hanya pasrah sembari tetap berikhtiar mencari jalan keluar dengan tetap berjualan keliling.
Karena tak kunjung mendapat pembeli, cincau yang ia jual mulai rusak.
Beruntung, ada seseorang yang ingin membeli es cincaunya tersebut.
Hasanudin pun menolak seraya menjelaskan bahwa barang dagangannya itu telah rusak dan tidak layak konsumsi.
Sang pembeli pun tetap membeli minuman lainnya yang juga dijual oleh Hasanudin yakni es nanas sebanyak dua bungkus seharga Rp 10 ribu.
Tak disangka, sang pembeli kembali memanggil Hasanudin dan memberinya Rp 300 ribu, jumlah yang selama ini dicarinya untuk sang anak.
Ada sebuah kepuasan batin yang membuatnya untuk bersyukur.
“Saya buka uangnya pas Rp300 ribu. Ya Allah saya sedih, Allah itu sering tolong saya. Allah tolong saya, saya jadi ada uang untuk beli sepatu anak saya. Allah tolong saya terus. Dulu saya dapat gaji Rp100 juta, sekarang nilainya dari itu,” ucapnya dalam video tersebut.
Artikel ini telah tayang di Sosok.ID dengan judul Dulu Bergelimang Harta Saat Jabat Manager Gaji Rp 100 Juta, Kini Pria Ini Harus Jadi Penjual Es Cincau Setelah Jadi Mualaf: Allah Tolong Saya Terus
(*)