Seniman dan ilmuwan membedah mayat untuk memahami komposisi dan cara kerja tubuh, meskipun meski ini dilarang oleh gereja Katolik.
Baik seniman maupun ilmuwan menganggap penting untuk lebih akurat dan yakin, tentang cara kerja tubuh manusia.
Untuk mengetahui otot apa yang digunakan ketika mengepalkan tangannya, saraf mana yang menonjol, bahwa jari telunjuk berada 0,5 cm lebih tinggi dari jari tengah.
Semua detail kecil ini memerlukan studi dan pembedahan tanpa akhir sebelum bisa mendekati kesempurnaan.
Hal ini menciptakan "naturalisme" di Renaisans Awal.
Seniman menciptakan bentuk manusia menjadi lebih seperti kehidupan nyata, dalam posisi yang jauh lebih nyaman dan sehari-hari.
Upaya dan penelitian ilmiah yang diperlukan untuk memahat dan membuat patung yang akurat secara anatomis memberi seniman pengakuan dan status yang lebih tinggi.
Ini bahkan setara dengan intelektual dan filsuf, karena karya mereka juga didasarkan pada penelitian dan representasi manusia yang akurat.
Lambang kerentanan manusia
Penelitian Hurwit, yang diterbitkan dalam American Journal of Archaeology, juga menemukan contoh pria telanjang yang kalah, sekarat, dan mati.
Dalam kasus ini, ketelanjangan dipilih untuk mewakili kerentanan subjek.
Sementara itu, pekerja biasa juga ditampilkan tanpa busana.
Ini menggambarkan keringat dan otot mereka untuk menunjukkan betapa kerasnya mereka bekerja.
Dewa dan orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi terkadang digambarkan dengan pakaian untuk menunjukkan tempat mereka di masyarakat.
Penelitian Hurwit tentang nuansa seni Yunani ini juga menawarkan sekilas tentang sumber budaya peradaban kita saat ini.
"Kita dapat mencoba memahami diri dan konsepsi kita tentang apa artinya menjadi pahlawan dan melampaui harapan normal," ungkapnya.
Menurutnya, semakin kita tahu tentang budaya lain, semakin dalam kita dapat memahami budaya dan diri sendiri.
Artikel ini telah tayang di NationalGeographic.grid.id dengan judul Mengapa Patung Pria Yunani Kuno Selalu Telanjang? Ini Alasannya!
(*)