Kondisinya sendiri masih terlihat kokoh, tanpa ada tanda dimakan usia.
Pada bagian depan tudung, terdapat ukiran angka yang merujuk pada tahun pembuatan bertuliskan angka 1929.
Dari informasi yang dihimpun, keranda ini diperkirakan sudah ada dan digunakan warga sejak zaman kolonial Belanda sejak 1918-1929.
Keranda itu merupakan keranda pertama yang digunakan warga Kampung Jawa jika ada warga yang meninggal.
Mulanya, kata dia, total terdapat dua unit keranda. Namun, satu unit dibawa ke kampung Kecicang Islam, Karangasem.
Pada 2005, keranda ini sudah ‘pensiun’ untuk menggotong jenazah alias sudah tak lagi dipakai, baik di sini maupun di Karangasem, karena sudah ada keranda yang lebih ringan berbahan stainless steel.
''Karena memang berat sekali. Butuh lebih dari 8 orang untuk mengangkut satu jenazah. Belum ada jenazah saja sudah berat, ada sekitar 100 kg beratnya,'' ujarnya.
Bicara soal Kampung Jawa juga tak lepas dari peristiwa Perang Puputan 1906.
Dalam perang melawan kolonial Belanda, konon juga melibatkan perjuangan bersama antara prajurit pejuang Jawa dan Bali dalam mengusir penjajah di bawah Kerajaan Pemecutan Badung.
Hal ini bisa ditelusuri melalui monumen atau prasasti di TPU Wanasari Maruti 13.
Dalam monumen ini mencatat 25 nama Moeda Djoeang/Syuhada Kemerdekaan Republik Indonesia Kampoeng Djawa Denpasar.
Dari perjuangan bersama inilah kemudian konon Raja Pemecutan Badung menghibahkan tanah di seputaran Jalan A Yani dan Maruti Denpasar sebagai lahan pemukiman para pejuang Jawa.
Lahan hibah ini kemudian menjadi pusat pemukiman hingga saat ini.
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul “Kisah Keranda Jenazah Tertua di Bali, Tertulis Angka 1929 Berbahan Kayu Jati & Berbobot 100 Kg”
(*)