Sayangnya fenomena itu terjadi empat tahun lalu, fenomena ini mulai berubah.
Akhir-akhir ini buaya tampaknya telah mengubah sikap, karena habitat mereka mulai terusik dengan Hulu Sungai Kesang yang dihancurkan, karena proyek irigasi.
Dulu mereka sering terlihat dan menampakkan diri, dan bahkan puluhan telur buaya sering ditemukan.
Namun, kini mereka sudah jarang terlihat, Rosman menyampaikan kekhawatirannya kepada nelayan ketika reptil sekarang sering menampakkan diri di dermaga.
Hal itu tentu berbahaya karena, nelayan terkadang mencuci perahu mereka di dermaga pada malam hari.
Untuk memastikan keselamatan para nelayan, Departemen Satwa dan Taman Nasional memasang tanda peringatan kepada publik dan juga pengunjung.
Meski demikian, hingga saat ini belum ada penduduk sekitar yang menjadi korban buaya.
"Keuninakan dari fenomena ini sebenarnya dapat mendorong nelayan untuk meningkatkan pendapatan jika menyediakan layanan pengankut perahu," Abdul Alim Shukor, petugas setempat.
"Hewan-hewan ini tidak akan menyerang jika cukup makan, dan mungkin buaya tidak akan pernah mengganggu manusia," tambahnya.
Namun, dia menyarankan pengunjung sungai untuk tetap menjaga kebersihan dan tidak mengganggu buaya.
Artikel ini telah tayang di Intisari online dengan judul, “Unik, di Kampung Ini, 'Buaya dan Manusia' Hidup Rukun, Konon karena Sebuah Perjanjian di Masa Lalu”
(*)