Laporan Wartawan Grid.ID, Annisa Dienfitri
Grid.ID - Menstruasi merupakan fase normal yang dialami oleh remaja perempuan.
Namun apa jadinya jika fase menstruasi itu malah jadi pemicu munculnya berbagai permasalahan serius pada kalangan remaja perempuan?
Faktanya, permasalahan serius akibat menstruasi yang tidak dikelola dengan tepat menghantui para remaja perempuan di Kenya, Afrika.
Melansir borgen magazine, terdapat beberapa hambatan signifikan untuk mengelola menstruasi dengan benar di Kenya, terutama di daerah terpencil dan berpenghasilan rendah.
Hambatan tersebut antara lain produk sanitasi yang tidak terjangkau, stigma menstruasi dan sanitasi yang buruk, yang mengakibatkan remaja Kenya bolos sekolah saat menstruasi.
Ketidakhadiran di sekolah membuat remaja ini berisiko putus sekolah dan mengalami kehamilan yang tidak terduga.
Melansir Intisari, penelitian pada 2018 dari UNICEF menyebutkan bahwa 65% perempuan di perkampungan kumuh Kibera, Nairobi, Kenya, rela barter pembalut dengan seks.
UNICEF menemukan 10% remaja putri mengaku menjajakan diri hanya demi mendapatkan pembalut di Kenya barat.
Kepala Air, Sanitasi, dan Kebersihan UNICEF Kenya, Andrew Trevatt, mengatakan bahwa tidak jarang anak-anak perempuan dilecehkan secara seksual sebagai ganti pembalut.
Baca Juga: Jomblo Dilarang Pesimis, Pria Terjelek di Uganda Ini Berhasil Nikahi 3 Wanita
"Kami memiliki ojek sepeda motor yang disebut boda-boda. Gadis-gadis itu terlibat hubungan seks dengan pengemudinya sebagai ganti pembalut," kata Andrew.
Hal ironis itu terjadi karena kemiskinan dan masalah pasokan pembalut di Kenya.
Karena kemiskinan, para perempuan di sana sampai tidak mampu membeli produk saniter termasuk pembalut.
Selain kemiskinan, pasokan barang juga masih menjadi masalah.
Barter seks dengan pembalut ini terjadi karena barang-barang saniter tidak tersedia di desa-desa.
Di pedesaan, transportasi masih sulit dan kalaupun ada, para perempuan akan kesulitan membayar ongkosnya.
Sedangkan di beberapa desa yang lebih terpencil, tidak ada layanan transportasi umum karena jalan pun tak ada.
Pendidikan seks ternyata juga masih dianggap tabu di lingkungan masyarakat daerah tersebut.
Hal ini menyebabkan, baik anak perempuan maupun laki-laki, tak menerima informasi apa pun mengenai menstruasi.
Ibunya bungkam, bahkan sekolah juga tidak mengedukasi sama sekali.
Judy, seorang siswi menengah di Kuria Barat mengalami trauma karena pengalamannya melakukan transaksi seks demi mendapatkan pembalut.
Saat pertama kali mengalami menstruasi, Judy masih duduk di kelas 7.
Dia sedang mengikuti pelajaran olahraga di sekolah dan temannya melihat ada darah di pahanya.
Judy yang baru pertama kali melihatnya bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Kemudian temannya, Mary, meminta izin ke guru olahraganya untuk membawa Judy pulang karena tak enak badan.
Ternyata Mary telah mengatur pertemuannya dengan dua pengemudi boda-boda dan memintanya untuk membelikan pembalut serta celana baru.
Judy segera mengenakan pembalut tersebut dan membawa beberapa sisanya untuk digunakan di rumah.
Mary meminta Judy untuk tidak memberitahu hal ini kepada orang tuanya, serta mengingatkan Judy untuk berterima kasih pada pengemudi boda-boda tersebut.
Mary mendesak Judy untuk menerima niat baik pengemudi boda-boda yang bersedia menyediakan pembalut setiap bulan.
Bahkan pengemudi boda-boda itu juga membelikan Judy telepon supaya bisa segera memberitahu jika ada masalah.
Jatuh ke dalam perangkap pengemudi boda-boda untuk berhubungan seks, Judy hamil pada 2016 dan melahirkan bayi laki-laki pada 2017 lalu.
Judy menyesal hanya karena pembalut, dia rela melakukan hubungan seks.
Namun kini Judy kembali ke bangku sekolah berkat bimbingan dan konseling dari seorang guru.
Kira-kira 30% dari sekolah sampel di Kenya menyediakan pembalut untuk siswi, tetapi dalam banyak kasus, pembalut hanya ditawarkan untuk keadaan darurat.
Seorang siswi lain bernama Agnes nasibnya lebih beruntung dari Judy.
Dia berhasil lari dari pengemudi boda-boda dan menolak berhubungan seks.
Sayangnya, teman-temannya kurang beruntung.
Baca Juga: Siswi Daerah Perkampungan Kumuh di Kenya Rela Jual Diri Demi Dapatkan Pembalut
"Sebagian besar teman-teman saya menderita karena kurangnya pembalut," katanya.
"Artinya kebanyakan menyerah pada pengemudi boda-boda yang membuat mereka hamil. Ini mengarah pada kehamilan anak dan keluarga yang dipimpin oleh anak-anak," jelasnya.
Satu dari sepuluh anak perempuan di Afrika akan hilang dari sekolah selama masa menstruasi karena tidak memiliki akses ke produk sanitasi, atau tidak ada toilet yang aman di sekolah.
Meski demikian, Kenya telah membuat kemajuan dalam masalah ini.
Melalui pemerintah, inisiatif UNICEF, dan mitra, sekitar 90.000 anak perempuan di 335 sekolah akhirnya memiliki akses ke toilet yang aman dan higienis, terutama bagi perempuan menstruasi.
Baca Juga: Peserta Asal Kenya Ini Berhasil Finish Pertama di Barelang Marathon 2018 Kategori 21K
(*)