Laporan Wartawan Grid.ID, Mentari Aprellia
Grid.ID - Setiap tahunnya, Istana Kepresidenan selalu melaksanakan upacara di tanggal 17 Agustus, tak terkecuali di momen HUT RI ke-77 ini.
Akan tetapi, pada HUT RI ke-77 ini, yang dikibarkan bukanlah bendera pusaka, melainkan replikanya.
Pengibaran bendera replika ini tentu bukan hanya dilaksanakan dalam upacara HUT RI ke-77 saja.
Sebab, sejak 1969, bendara pusaka sudah dipensiunkan demi menjaga ketahanannya sebagai benda bersejarah.
Mungkin kebanyakan orang Indonesia hanya mengetahui bendera pusaka dijahit oleh Fatmawati.
Namun, ternyata ada kisah yang menarik di balik pembuatan bendera pusaka hingga masih tersimpan apik sampai saat ini.
Dilansir dari sosok.id, Senin (15/8/2022), bendera pusaka merah putih sudah dijahit Fatmawati jauh sebelum hari proklamasi kemerdekaan.
Fatmawati menjahitnya tatkala mengandung anak sulungnya, Guntur Soekarno Putra, yang usia kandungannya sudah 9 bulan.
Bendera pusaka yang dibuat Fatmawati pada Oktober 1944 itu dijahit menggunakan tangan.
Pasalnya, dokter melarangnya untuk menggunakan mesin jahit kaki.
Kain merah dan putih yang dijahitnya usut punya usut berasal dari seorang perwira Jepang bernama Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda).
Kemudian di tanggal 17 Agustus 1945 saat proklamasi kemerdekaan, bendera buatan Fatmawati itu pun berkibar di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta.
Akan tetapi, perjuangan tak berhenti sampai di situ.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (15/8/2022), Belanda justru kembali ingin menguasai Indonesia yang telah mengumumkan kemerdekaan.
Pada 4 Januari 1946, situasi Jakarta sangat genting, Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta meninggalkan Jakarta menunju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api.
Bendera pusaka turut dibawa dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno.
Selanjutnya, Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Namun, Agresi Militer ke-2 yang terjadi pada 19 Desember 1948 ini akhirnya menjatuhkan Yogyakarta ke tangan Belanda.
Presiden Soekarno yang mengetahui bahwa dirinya akan ditawan, kemudian memanggil ajudannya Husein Mutahar untuk diberikan tugas kepadanya, yaitu mengamankan bendera pusaka agar tidak sampai jatuh ke tangan Belanda.
"Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi, untuk menajaga Bendera kita dengan nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Soekarno kepada Husein Mutahar seperti yang tertulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia karangan Cindy Adams.
Dalam keadaan genting itu, Husein Mutahar berpikir cepat untuk menemukan cara mengamankan bendera pusaka tersebut, yaitu dengan membuka jahitan bendera memisahkan warna merah dan putih dengan bantuan Ibu Pema Dinata.
Husein Mutahar kemudian meletakkan masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang diisi dengan pakaian pribadinya.
Husein Mutahar berpikir bila bendera pusaka dipisahkan, tidak dapat disebut bendera karena hanya dua carik kain merah dan putih untuk menghindari penyitaan dari Belanda.
Kedua kain itu pun aman, kendati Husein Mutahar ditahan dan ditawan di Semarang.
Beberapa saat kemudian, Husein Mutahar berhasil kabur melarikan diri dengan kapal laut dari Semarang menuju Jakarta.
Singkat cerita, Husein mendapat surat dari Soekarno yang memintanya menyerahkan bendera pusaka pada presiden dengan menitipkan pada Soedjono sebagai perantara.
Oleh Husein Mutahar kemudian kain bendera pusaka dijahit kembali agar merah putih menyatu.
Soedjono meminjamkan mesin jahit milik seorang istri dokter.
Husein Mutahar kemudian menjahitnya persis di lubang bekas jahitan aslinya.
Sebagai penghargaan atas jasa Husein Mutahar menyelamatkan bendera pusaka, pada tahun 1961, ia dianugerahkan Bintang Maha Putera.
(*)