Laporan Wartawan Grid.ID, Mentari Aprellia
Grid.ID - Pada tanggal 17 Agustus 2022, bangsa Indonesia akan merayakan HUT RI ke-77.
Namun, dalam rangka HUT RI ke-77 ini rupanya masih banyak yang mengetahui bahwa Indonesia memiliki dua presiden yang sering luput dari sejarah.
Dalam HUT RI ke-77 ini, kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa Indonesia pernah dipimpin tujuh orang presiden.
Mereka adalah Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
Namun, dilansir dari TribunBanten.com, Selasa (16/8/2022), seorang pria bernama Syafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden atau Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Ya, saat Belanda melakukan Agresi Militer II pada Desember 1948, Soekarno-Hatta menguasakan Syafruddin Prawiranegara yang saat itu duduk sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera.
Soekarno memberikan kuasa melalui telegram.
Sayangnya, karena jaringan komunikasi yang buruk telegram tersebut tidak sampai kepada yang bersangkutan.
Hanya saja, Syafruddin pun cepat tanggap dalam membaca situasi.
Syafruddin yang mendengar Belanda kembali menduduki Ibukota Yogyakarta, langsung mengambil inisiatif senada.
Saat itu Belanda juga telah menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia pada 19 Desember 1948 sore.
Syafruddin segera menggelar rapat di sebuah rumah di dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi dan mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat.
Gubernur Sumatera Mr. TM Hasan langsung menyetujui usulan tersebut demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya.
Sebab kekosongan kepala pemerintahan bisa menjadi syarat internasional untuk tidak diakui sebagai negara.
Dengan dibentuknya PDRI di Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap ada, meski Soekarno-Hatta ditangkap oleh Belanda di Yogyakarta.
Meskipun saat itu istilah yang digunakan adalah Ketua, namun kedudukannya setara dengan Presiden.
Syafruddin kemudian kembali meyerahkan tampuk kekuasaan sebagai presiden kembali ke Soekarno pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta.
Syafruddin sempat menduduki jabatan sebagai presiden selama delapan bulan untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia.
Orang selanjutnya yang pernah menjadi presiden RI adalah Assaat.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (16/8/2022), Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 membuat sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sistem kepemimpinan dan pemerintahan juga berubah pada masa ini yang membagi Indonesia ke dalam beberapa negara-negara bagian.
Soekarno-Hatta menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, sehingga Republik Indonesia mengalami kekosongan kepemimpinan.
Saat itu Mr. Assaat menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja (BP) Komisi Nasional Pusat Indonesia (KNIP).
Menurut konstitusi yang ada, jika Presiden dan Wakil Presiden berhalangan dalam memimpin, maka semua tanggung jawab dipegang oleh Ketua BP KNIP.
Oleh karena itu, Mr Assaat akhirnya ditunjuk sebagai pemangku jabatan pelaksana Presiden Negara Republik Indonesia.
Namun, dalam perjalannya banyak negara bagian yang merasa tak puas dengan sistem negara bagian.
Mereka mengusulkan agar dikembalikannya RIS menjadi Republik pada sedia kala
Kondisi itu ditunjukkan dengan munculnya aksi-aksi di beberapa daerah yang mengakibatkan pemberontakan dan juga memakan korban jiwa.
Akhirnya, pada 15 Agustus 1950 usul diterima Presiden RIS Soekarno, yang menandatangani UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950) mengganti UUD RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 pula, Assaat yang menjadi presiden RI selama dua tahun mengembalikan jabatan sebagai presiden kepada Soekarno.
(*)