Ia pun berharap pameran ini bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi kelompok-kelompok etnis di Yogyakarta, khususnya etnis Cina, untuk terus memperjuangkan identitasnya.
Dan tentu saja, juga membangkitkan keikhlasan bagi masyarakat Yogyakarta pada umumnya untuk menerima keberagaman kultural, dan kekayaan multikultural yang kiranya perlu terus hidup dan dihidupi di Yogyakarta, yang di mana-mana terkenal karena kekayaan budayanya.
Sementara, Kurator Oscar Motuloh mengatakan penerbitan buku ‘Memoar Orang-orang Singkawang’ oleh Yayasan Luhur Abadi Singkawang bekerja sama dengan Yayasan Riset Visual mataWaktu, dilakukan demi tidak terulangnya kembali tragedi kemanusiaan beraroma diskriminasi di masa yang akan datang.
Buku ini pun didedikasikan bagi segenap perantau yang ‘pulang’ dan para penyintas kebengisan ‘di rumah’.
Juga sebagai penghormatan bagi mereka yang gugur akibat angkara dan ambisi kekuasaan politik identitas.
Selain itu, Oscar pun menuturkan bahwa buku “Memoar Orang-orang Singkawang” bukan hanya sekedar catatan kisah bermulanya keturunan Cina di Singkawang, ataupun cerita mereka ‘pulang’ ke tanah leluhur mengiringi intuisi rayuan propaganda demi kehidupan yang lebih indah di tanah nenek moyang, namun kenyataan berkata lain.
Baca Juga: Pameran Seni Rupa Nujudibumi#2: Bukti Nyata Kreativitas Tak Ada Batas di Tengah Pandemi
Buku ini, melakukan lebih dari itu, yaitu menjadi katarsis dari segenap tragedi politik identitas versi rezim Orba yang menjadi wabah keji bagi orang-orang Singkawang yang tinggal di 'rumah’.
Termasuk pembredelan yang diskriminatif atas ritual, tradisi, budaya, sampai penggunaan aksara kanji.
“Kiranya penerbitan ini menjadi sekuntum teratai, yang menguncup pada petang hari, namun merekah kembali saat fajar menyingsing."
"Biarlah padma ini abadi. Kekal sebagai perlambang kemerdekaan, toleransi, serta kebangkitan persatuan bhineka Indonesia,” katanya.
Sebagai catatan, pameran fotografi “Memoar Orang-orang Singkawang” pertama kali dilakukan di Galeri Salihara, Jakarta bersamaan dengan penerbitan buku karya Bina Bektiati (naskah), John Suryaatmadja dan Sjaiful Boen (foto) tersebut.
Buku yang memiliki ketebalan 448 halaman dan hardcover 25,5x25 cm didesain oleh Andi Ari Setiadi, Diky Halim (topografi dan lini masa), dilengkapi dengan 308 foto, 102 foto arsip, 41 dokumen, dan 17 ilustrasi/peta.
Buku ini ditulis berdasarkan rangkaian wawancara pada tahun 2010-2011, dan didukung foto pendukung lainnya karya Enrico Soekarno, Jay Subyakto, Julian Sihombing, Sigi Wimala, Yori Antar, oscar motuloh, Octa Christi, Andreas Loka, Victor Fidelis, Khaw Technography.
Baca Juga: Pameran Literasi Lelaku Nulis 70 Tahun Sindhunata: Memaknai Perjalanan Panjang sang Penulis Ulung
(*)