Grid.ID - Untuk mensyukuri HUT ke-40, Bentara menggelar serangkaian program selama bulan Agustus dan September 2022.
Bentara Budaya Yogyakarta menggelar Pameran Fotografi Singkawang dengan tema “Keberagaman: Sebuah Refleksi dari Sejarah dan Kebudayaan Singkawang”.
Secara bersamaan, di Bentara Budaya Jakarta, juga dihelat Pameran "Keramik Singkawang" koleksi Bentara.
Keduanya berlangsung pada 10-18 September 2022.
GM Communication Management & Bentara Budaya, Ilham Khoiri mengatakan foto-foto dan keramik Singkawang dianggap menarik karena mewakili kematangan budaya toleransi di Indonesia.
Di kota kecil berjarak 145 kilometer dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat ini, terdapat komunitas keturunan Tionghoa yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat lokal.
Mereka menjadi bagian dari denyut nadi warga setempat sekaligus tetap memiliki identitas sebagai anak cucu imigran dari Cina.
Keberagaman dan toleransi menjadi kekhasan Singkawang. Namun, semua itu diperoleh setelah menempuh perjalanan yang panjang.
Di masa silamnya, Singkawang pun mengalami luka serius, termasuk persoalan diskriminasi identitas etnik.
Sejarah pahit inilah yang kini membuahkan hasil manis; Singkawang menjadi kota multikultural yang harmonis.
Baca Juga: Pelantang: Pameran Audio Lawasan di Bentara Budaya Yogyakarta
Bahkan kini, Singkawang, Kalimantan Barat, dinobatkan sebagai kota paling toleran se-Indonesia tahun 2021.
“Kini, wajah Singkawang telah mencerminkan pertemuan dua budaya."
"Singkawang dianggap mewakili apa yang disebut sebagai hasil proses akulturasi,” ujarnya.
Singkawang sebagai hasil akulturasi diperlihatkan jelas oleh foto-foto dalam pameran di Bentara Budaya Yogyakarta, serta pameran keramik di Bentara Budaya Jakarta.
Dari foto-foto yang diterbitkan dalam bentuk buku "Memoar Orang-orang Singkawang" (Yayasan Singkawang Luhur Abadi-Yayasan Riset Visual mataWaktu, 2022), kita menemukan jejak-jejak pahit-manis sejarah di daerah ini.
Foto-foto kian menarik karena dilengkapi hasil penelusuran tentang warga Singkawang yang telah bermigrasi mancanegara (seperti Cina, Hongkong, Taiwan), tetapi tetap mempertahankan ikatan emosional dengan “kampung halamannya” di Singkawang.
Sementara dari gerabah, kita mendapatkan jejak-jejak masa silam yang masih melekat pada berbagai bentuk kerajinan dari tanah liat yang dibakar.
Ada upaya untuk melestarikan tampilan keramik kuno Cina, tetapi juga hasrat memproduksi bentuk-bentuk yang lebih praktis dan modern untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kedua pameran yang sama-sama mengangkat akulturasi di Singkawang ini menandai komitmen lembaga untuk terus mengawal budaya nusantara."
"Komitmen yang terus dijaga saat lembaga ini berusia 40 tahun dan semoga dapat dilanjutkan pada masa-masa berikutnya,” katanya.
Baca Juga: Bentara Budaya dan Kebun Raya Bedugul Gelar Workshop Melukis di Atas Daun Kering
Hal senada diungkapkan Kepala Event Production Program-Spt Bentara Budaya, Ika W Burhan.
Menurutnya, dalam khazanah ilmu arkeologi, artefak keramik mempunyai peranan khas yang penting.
Dibandingkan dengan jenis-jenis artefak lainnya, keramik Cina dianggap memiliki beberapa kelebihan, salah satunya adalah keramik bisa memberi informasi tentang “waktu” atau masa pembuatannya.
“Seorang Arkeolog akan sangat “bahagia” bila bisa menemukan bahkan hanya serpihan keramik sekalipun.
Selain bisa memberi informasi tentang masa, juga bisa memperlihatkan latar belakang budaya, tradisi, fungsi, dan sebagainya,” katanya.
Adanya pameran ini pun disambut baik Budayawan Sindhunata.
Ia merasa pameran foto dari dokumentasi bersejarah orang-orang Singkawang di Bentara Budaya Yogyakarta dirasa tepat dan sejalan dengan eksistensi Bentara Budaya.
Sepanjang keberadaannya selama 40 tahun, Bentara Budaya berkeprihatinan untuk memamerkan banyak hal yang sering terlupakan dalam percaturan masyarakat atau pementasan seni dan budaya.
Pameran dari sebagian dokumentasi “Memoar Orang-orang Singkawang” berisi foto-foto yang telah dikumpulkan sejak tahun 2009, menceritakan kembali kisah, kenangan dan sejarah kelompok etnik Cina yang tak lelah-lelahnya berjuang untuk mempertahankan dan menunjukkan eksistensinya.
Sebuah perjuangan sulit dari kelompok etnik minoritas yang terus berusaha mempertahankan diri, seni, budaya dan kehidupannya, juga kelangsungan ekonominya.
Baca Juga: Merenungkan Dinamika dan Perubahan Dalam Pameran 'Homo' di Bentara Budaya Yogyakarta
Bahkan mampu memperlihatkan siapa dirinya, sampai akhirnya diakui juga ciri khasnya.
“Semua ini membuktikan bahwa multikulturalisme dan pluralisme sungguh masih berhak hidup dan akan terus hidup di bumi Nusantara yang tercinta,” ujarnya.
Ia pun berharap pameran ini bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi kelompok-kelompok etnis di Yogyakarta, khususnya etnis Cina, untuk terus memperjuangkan identitasnya.
Dan tentu saja, juga membangkitkan keikhlasan bagi masyarakat Yogyakarta pada umumnya untuk menerima keberagaman kultural, dan kekayaan multikultural yang kiranya perlu terus hidup dan dihidupi di Yogyakarta, yang di mana-mana terkenal karena kekayaan budayanya.
Sementara, Kurator Oscar Motuloh mengatakan penerbitan buku ‘Memoar Orang-orang Singkawang’ oleh Yayasan Luhur Abadi Singkawang bekerja sama dengan Yayasan Riset Visual mataWaktu, dilakukan demi tidak terulangnya kembali tragedi kemanusiaan beraroma diskriminasi di masa yang akan datang.
Buku ini pun didedikasikan bagi segenap perantau yang ‘pulang’ dan para penyintas kebengisan ‘di rumah’.
Juga sebagai penghormatan bagi mereka yang gugur akibat angkara dan ambisi kekuasaan politik identitas.
Selain itu, Oscar pun menuturkan bahwa buku “Memoar Orang-orang Singkawang” bukan hanya sekedar catatan kisah bermulanya keturunan Cina di Singkawang, ataupun cerita mereka ‘pulang’ ke tanah leluhur mengiringi intuisi rayuan propaganda demi kehidupan yang lebih indah di tanah nenek moyang, namun kenyataan berkata lain.
Baca Juga: Pameran Seni Rupa Nujudibumi#2: Bukti Nyata Kreativitas Tak Ada Batas di Tengah Pandemi
Buku ini, melakukan lebih dari itu, yaitu menjadi katarsis dari segenap tragedi politik identitas versi rezim Orba yang menjadi wabah keji bagi orang-orang Singkawang yang tinggal di 'rumah’.
Termasuk pembredelan yang diskriminatif atas ritual, tradisi, budaya, sampai penggunaan aksara kanji.
“Kiranya penerbitan ini menjadi sekuntum teratai, yang menguncup pada petang hari, namun merekah kembali saat fajar menyingsing."
"Biarlah padma ini abadi. Kekal sebagai perlambang kemerdekaan, toleransi, serta kebangkitan persatuan bhineka Indonesia,” katanya.
Sebagai catatan, pameran fotografi “Memoar Orang-orang Singkawang” pertama kali dilakukan di Galeri Salihara, Jakarta bersamaan dengan penerbitan buku karya Bina Bektiati (naskah), John Suryaatmadja dan Sjaiful Boen (foto) tersebut.
Buku yang memiliki ketebalan 448 halaman dan hardcover 25,5x25 cm didesain oleh Andi Ari Setiadi, Diky Halim (topografi dan lini masa), dilengkapi dengan 308 foto, 102 foto arsip, 41 dokumen, dan 17 ilustrasi/peta.
Buku ini ditulis berdasarkan rangkaian wawancara pada tahun 2010-2011, dan didukung foto pendukung lainnya karya Enrico Soekarno, Jay Subyakto, Julian Sihombing, Sigi Wimala, Yori Antar, oscar motuloh, Octa Christi, Andreas Loka, Victor Fidelis, Khaw Technography.
Baca Juga: Pameran Literasi Lelaku Nulis 70 Tahun Sindhunata: Memaknai Perjalanan Panjang sang Penulis Ulung
(*)