Grid.ID- Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada 5 Oktober 2022.
PMA terbaru ini mengatur upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama, yang meliputi jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, baik itu madrasah, pesantren, maupun satuan pendidikan keagamaan.
Anna Hasbie selaku juru bicara Kementerian Agama (Kemenag) menerangkan, PMA ini dibuat melalui proses diskusi yang panjang.
Setelah ditandatangani oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Oktober 2022, aturan tersebut baru mulai diundangkan pada 6 Oktober 2022.
Dikutip dari laman resmi Kemenag, PMA ini terdiri atas tujuh bab, yakni ketentuan umum, bentuk kekerasan seksual, pencegahan, penanganan, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi, sanksi, dan ketentuan penutup.
Setelah disahkan, PMA ini berlaku untuk seluruh lembaga pendidikan di bawah lingkup Kementerian Agama, baik yang sifatnya formal, nonfromal maupun informal, termasuk pesantren.
Setiap lembaga pendidikan wajib mensosialisasikan, mengembangkan kurikulum dan pembelajaran, menyusun SOP pencegahan, serta mengembangkan jejaring komunikasi, terkait kekerasan seksual.
Bentuk Kekerasan Seksual
Anna Hasbie menjelaskan, ada 16 klasifikasi bentuk kekerasan seksual yang tercantum dalam PMA.
"Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban juga termasuk bentuk kekerasan seksual," jelas Anna.
“Termasuk juga menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman," sambungnya.
Lebih lengkapnya, berikut 16 jenis kekerasan seksual yang dirilis oleh Kemenag, dikutip dari Kompas TV.
1. Penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik kondisi tubuh atau identitas gender korban.
2. Menyampaikan ucapan yang membuat rayuan, lelucon, siulan yang bernuansa seksual pada korban.
3. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
4. Menatap korban dengan nuansa seksual atau tidak nyaman.
5. Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi atau pada ruang yang bersifat pribadi.
6. Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.
7. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban.
8. Melakukan percobaan pemerkosaan.
9. Melakukan pemerkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
10. Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.
11. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
12. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
13. Memberikan hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
14. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
15. Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio dan atau visual korban yang bernuansa seksual.
16. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan.
Penanganan dan Sanksi
Tak hanya membeberkan bentuk kekerasan seksual, PMA ini juga mengatur terkait penanganan, mulai dari pelaporan, pelindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban.
Perihal sanksi, Anna mengatakan, bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dikenakan sanksi pidana dan sanksi administrasi.
Anna berharap, terbitnya PMA ini akan menjadi panduan bersama seluruh stakeholders satuan pendidikan Kementerian Agama dalam upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
"Harapannya, ke depan tidak terjadi lagi kekerasan seksual di satuan pendidikan," tandasnya.
(*)